Jumat, 11 September 2015

Hukum Jual Beli Online

Ringkasan Materi Kajian Hukum Jual Beli Online

Oleh Ust Arifin Baderi

di masjid Baiturrozaq rungkut SIER,

ahad 06 september 2015 :

🔖 Jual beli emas/perak scr tertunda itu boleh, asal dibayar dg barang selain uang/emas/perak.

🔖 Uang kertas/kartal hukumnya disamakan dinar & dirham sbg alat transaksi, menyimpan kekayaan & standar nilai barang.

🔖 Hak khiyar (membatalkan transaksi) tetap ada selama masih dalam 1 majelis (belum terpisah), kecuali ada kesepakatan bahwa tidak boleh batal.

🔖Kalau harus menampilkan gambar, seadanya saja. Jangan direkayasa di photosop. Karna ini bisa termasuk penipuan.

🔖Jika stok habis, jujur saja. Atau, pembeli diminta membayar cash dulu, supaya jadi transaksi salam.

📌Dibolehkan dropshipping, menaikkan harga, mengirim atas nama kita asal ada kesepakatan dg pemilik barang. Karna yg dijaga adalah hak pemilik barang bukan pembeli.

📌 DP hangus sudah berlaku sejak zaman Umar bin Khathab dan itu sah. Karna hikmahnya, saat transaksi dibatalkan maka akan merugikan penjual sebab kehilangan market, penawaran lain sudah hilang. Maka untuk memberi ganti rugi thd hal tsb maka dibolehkan DP hangus. Namun lebih utama jika memaafkan karna itu lebih dekat dg ketakwaan.

📌Boleh menjual dg katalog asal tunai di muka (akad salam).

📎 Jual beli properti boleh kredit / cash asal hanya 2 pihak yg terlibat: pembeli & penjual. Developer adalah produsen. Jadi transaksinya adalah pesan buat (istisna'). Kalau ada pihak ketiga yg terlibat maka itu riba.

📎 Jual beli jasa boleh. Misal jasa membuat kerajinan dlsb asal bukan kerajinan emas/perak. Jumhur fuqoha berpendapat jual beli emas/perak harus tunai. Tidak boleh memesan perhiasan emas/perak dg bayar dimuka. Solusinya, kita beli bahan emas/perak, trus sewa jasa tukang perhiasan. Ibnul Qoyyim al jauziyah menyelisihi jumhur, beliau berpendapat boleh, dg alasan sejak zaman dulu tukang emas sebenarnya menjual emas juga, karna pasti ambil profit. Tapi pendapat tsb lemah.
copaste by www.AinuRofik.com

Senin, 07 September 2015

FIKIH RINGKAS dalam BERKURBAN 8

Beberapa Hukum Berkaitan dengan Orang yang Berkurban

📋📌 Berikut beberapa hukum yang harus diperhatikan oleh seorang yang ingin berkurban:

• 🅰 Ikhlas Mengharap Ridha Allahsubhaanahu wa ta’aalaa...

🌹Niat yang ikhlas adalah kunci diterimanya sebuah amalan...

🔘 Seorang yang berkurban dengan kambing yang mahal harganya, gemuk tubuhnya, dan bagus bentuknya tetapi tidak diiringi dengan keikhlasan maka tidak akan memiliki arti sedikitpun di sisi Allahsubhaanahu wa ta’aalaa,
⚠ “Tidak akan sampai kepada Allah daging dan darahnya (hewan sembelihan), akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)

📌✔ dan ketakwaan yang paling agung adalah mengikhlaskan niat...

• 🅱 Tidak Boleh Memotong Kuku dan Mencukur Rambut...

📆🌙 Memasuki  sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah...

🚫 Seorang yang telah berniat berkurban tidak boleh memotong kuku dan semua rambut yang tumbuh di tubuh...

🌴 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kulitnya sedikitpun.” 
🔒 (HR. Muslim no. 1977 dari Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha)...

⛵Dalam riwayat lain, “Janganlah sekali-kali ia memotong rambutnya atau memotong kukunya.”

🔆🔅 Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud larangan memotong kuku dan rambut adalah menghilangkan kuku baik dengan cara memotong, mematahkan, atau cara lainnya...
⭕ Sedangkan larangan memotong rambut adalah dengan mencukur, memendekkan, mencabut, membakar, menggunakan obat perontok, atau cara lainnya....
❌ Larangan tersebut berlaku bagi bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, dan seluruh rambut yang tumbuh di tubuh.”

🔎 (Al-Minhaj 6/472)

•• Buletin Al ilmu 1432H••

-----------------------------------------

🌠📝 Majmu'ah Manhajul Anbiya
copaste by www.AinuRofik.com

Sabtu, 15 Agustus 2015

Toleransi Dalam Agama

Toleransi dalam islam diilhami dari ayat "lakum diinukum waliyyadiin" (untukmu agamamu dan untukku agamaku)

Prinsip pemikiran awal toleransi adalah Agama dan dasarnya agama itu Aqidah. Bila berkaitan dengan Aqidah maka inilah toleransi pada agama lain.

"Barang siapa yg menyakiti kafir dzimmi maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara denganku, maka aku akan meperkarakannya pada hari Kiamat." (HR. as-Suyuti, aljamil ash-Shagir)

Toleransi yg dijalani Rosul Saw, dilakukan dgn menjenguk tetangga nonmuslim yg sakit (HR. Bukhori no.2363 & Muslim no.2244). Toleransi di masa Rosul, membiarkan umat nonmuslim beribadah dan tidak memaksa mereka utk memeluk islam. Rosul Saw jg bermuamalah (bisnis) dengan nonmuslim. (Syarh Nawawi utk Shahih Muslim, 10/218).

Hal ini menunjukan toleransi (tasamuh) dalam islam sangat dijunjung tinggi. Toleransi yg menjunjung keadilan bagi siapa sj. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Jadi, kita tidak dilarang utk berbuat baik, menyambhng silaturahim, membalas kebaikan, berbuat adil, selama mereka tidak memerangi atau mengusir kita karena agama dari negeri kita.

🍃kalo islam toleransi nya tinggi kenapa gak boleh ngucapin "selamat natal"?

Konsep "toleransi" yg ditawarkan oleh kalangan orientalis yg bekerjasama dgn musuh islam, adalah konsep liberalisasi agama. Ketika mrk katakan "semua agama itu sama karena semua agama itu agama samawi".

Dulu para pemuka quraisy, juga pernah lakukan itu kepada Rosul Saw, "Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah pada Tuhanmu dan kalian (muslim) jg beribadah pada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami. Sebaliknya apabila ada dari ajaran kami yg lebih baik tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya." (tafsir al-Qurtubi 20:225, Darul Kutub al-Mishriyyah,1986)

Atas toleransi yg kebablasan inilah, Alloh turunkan ayat al-Kafirun 1-6 sebagai jawaban atas penawaran pemuka quraisy itu.

Toleransi yg dimaksudkan oleh Islam adalah Biarkan nonmuslim beribadah (termasuk merayakan hari besarnya) tanpa kita usik sedikitpun apalagi memaksa masuk dalam islam. Namun tinggalkan segala kegiatan agamanya, karena menurut syariat islam segala praktek ibadah mereka adalah bentuk kekufuran.

Analogi yg logis akan toleransi ini. Begini, jika kita bersama kawan jalan2 lalu ternyata sama2 ingin pergi ke toilet. Apakah saat di toilet kita harus masuk juga dalam satu toilet? Atau kita tunggu kawan kita buang hajatnya sampai selesai di dalam toilet? Tentunya tidak mungkin kita paksa kawan agar kita dibolehkan buang hajat bareng dgn kawan kita.. 😃

Dari 'Umar bin al-Khaththab r.a., ia berkata "Janganlah kalian masuk (mendekati) pada gereja-gereja mereka saat perayaan mereka karena saat itu sedang turun murka Alloh." (HR. Al-Baihaqi)

copaste by www.AinuRofik.com

Hukum Percaya Adanya Setan & Jin


بسم الله الر حمن الر حيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

ان الحمد لله نحمده ونستعينه ونستهديه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فهو المهتد ومن يضلل فلن تجد له وليا مرشدا..

ﻭ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺣﺪﻩ ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ ؛ ﻟﻪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﻭ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﻤﺪ ، ﻳﺤﻴﻰ ﻭ ﻳﻤﻴﺖ ﻭ ﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﺊ ﻗﺪﻳﺮ ﻭ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻤﺮﺟﻊ ﻭ ﺍﻟﻤﺼﻴﺮ .. 

ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻋﺒﺪﻩ ﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ، ﺑﻠﻎ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻭ ﺃﺩﻯ ﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ، ﻭ ﻧﺼﺢ ﺍﻷﻣﺔ ﻭ ﻛﺸﻒ ﺍﻟﻐﻤﺔ ، ﻭ ﺟﺎﻫﺪ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺭﺑﻪ ﺣﺘﻰ ﺃﺗﺎﻩ ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ .. 

أما بعد...

Ikhwany fillah... Rohimany wa RohimakumuLlah...

Allah azza wa jalla berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku". (QS. Adz Dzariyat : 56)

Rasulullah ص bersabda,

ﺧﻠﻘﺖ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻣﻦ ﻧﻮﺭ ﻭ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﺠﺎﻥ ﻣﻦ ﻣﺎﺭﺝ ﻣﻦ ﻧﺎﺭ ﻭ ﺧﻠﻖ ﺁﺩﻡ ﻣﻤﺎ ﻭ ﺻﻒ ﻟﻜﻢ ( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ )

"Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala, dan Adam diciptakan dari apa yang kalian sifati (tanah)". (HR. Muslim)

Dari dua dalil di atas, kita sebagai orang yang beriman WAJIB hukumnya untuk mengimani bahwa selain manusia, Allah juga telah menciptakan makhluk yang bernama JIN.

Tidak boleh kita alergi serta anti dengan beranggapan bahwa jin dan dunianya itu hanyalah cerita fiktif yang tak bisa dicerna akal sehat.

Sebaliknya kita juga tidak dibenarkan terlalu paranoid dengan permasalahan jin ini, sehingga kita malah terjebak dengan tipuan-tipuan serta makar mereka yang ingin menyeret kita kepada kesyirikan.

Apa Perbedaan Jin, Setan dan Iblis

Ikhwany fillah... Rohimany wa RohimakumuLlah...

💥1. Jin

Makhluk ini dinamakan jin, karena memiliki sifat ijtinan ( ﺍﺟﺘﻨﺎﻥ ), yang artinya tersembunyi dan tidak kelihatan.

Oleh karena itu, bayi yang masih berada di dalam perut ibu, disebut janin (kata janin dan jin memiliki kata dasar yang sama yakni jann) karena ia tidak dapat dilihat dengan mata.

Demikian juga orang gila dalam bahasa Arab disebut dengan majnun (dari kata jann juga) karena akal sehatnya sudah tertutup dan terhalang.

Jin memiliki kesamaan dengan manusia dalam dua hal :

✅a. Jin memiliki akal dan nafsu, sebagaimana manusia juga memiliki akal dan nafsu,

✅b. Jin mendapatkan beban perintah dan larangan syariat (taklif), sebagaimana manusia juga mendapatkan beban perintah dan larangan syariat.

Oleh karena itu, ada jin yang muslim dan ada jin yang kafir. Ada jin yang baik dan ada jin yang jahat. Ada jin yang pintar masalah agama dan ada jin yang bodoh. Bahkan ada jin Ahlussunnah dan ada jin pengikut kelompok sesat, dst.

Sedangkan perbedaan jin dengan manusia yang paling mendasar adalah dari asal penciptaan dan kemampuan bisa kelihatan dan tidak.

➿➿➿➿➿➿
💥2. Setan

Setan dalam bahasa Arab berasal dari kata "syathona" yang berarti "ba'uda" (jauh, yakni yang selalu menjauhkan manusia dari kebenaran).

Kemudian kata syaithan ini digunakan untuk setiap makhluk berakal yang durhaka dan membangkang (kullu 'aat wa mutamarrid).

Pada awalnya istilah setan (syaitan) ini diberikan kepada salah satu golongan jin (Iblis) yang beribadah kepada Allah dan tinggal bersama dengan malaikat di dalam surga.

Akan tetapi ketika mereka menolak untuk sujud kepada Adam karena membangkang kepada perintah Allah, maka dia diusir dari surga dan sejak itu ia menjadi makhluk yang terkutuk sampai hari kiamat kelak.

Tidak semua jin adalah Setan (syaitan), karena jin juga ada yang shaleh dan ada yang mukmin.

Jadi setan hanyalah ditujukan untuk jin yang membangkang (kafir, munafik, musyrik dst).

Demikian juga tidak semua setan adalah jin, karena dalam surat an-Nass ditegaskan, bahwa setan juga ada dari golongan manusia.

Allah ﷻ berfirman, setelah menjelaskan sifat-sifat setan,

ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻨَّﺔِ ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱ

“(setan yang membisikkan itu) dari golongan jin dan manusia”. (QS. An-Nass: 6).

Setiap manusia yang membangkang, durhaka dan selalu menjauhkan manusia lainnya dari petunjuk Allah, mereka dinamakan syaithan.

Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Aku datang kepada Nabi ص dan beliau berada di masjid. Akupun duduk. Dan beliau mengatakan, “Wahai Abu Dzar! Apakah kamu sudah shalat?”

Aku jawab, “Belum”.

Beliau mengatakan, “Bangkit dan shalatlah”.

Aku pun bangkit dan shalat, lalu aku duduk. Beliau berkata, “Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin”.

Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, apakah di kalangan manusia ada setan?”

Beliau menjawab : “Ya”.

Ibnu Katsir menyatakan setelah menyebutkan beberapa sanad hadits ini : “Inilah jalan-jalan hadits ini. Dan semua jalan-jalan hadits tersebut menunjukkan kuatnya hadits itu dan keshahihannya” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/172)

💥3. Iblis

Adapun Iblis berasal dari kata "al-balas" yang berarti orang yang tidak mempunyai kebaikan sedikitpun (man la khaira 'indah), atau dari kata "ablasa" yang berarti putus asa dan bingung (yaisa wa tahayyara).

Disebut iblis (putus asa) karena mereka merasa putus asa dengan rahmat Allah, juga disebut iblis lantaran mereka tidak pernah berbuat kebaikan sedikitpun.

Iblis adalah termasuk ke dalam golongan jin dan iblis juga memiliki keturunan.

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ ۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ ۚ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : 'Sujudlah kamu kepada Adam', maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim". (QS. Al-Kahf : 50)

Oleh karena itu, ada jin yang muslim dan ada jin yang kafir. Ada jin yang baik dan ada jin yang jahat. Ada jin yang pintar masalah agama dan ada jin yang bodoh. Bahkan ada jin Ahlussunnah dan ada jin pengikut kelompok sesat, dst.

💥 Karakteristik Jin di Dalam Al Quran 📚

Ikhwany fillah... Arsyadany wa ArsyadakumuLlah...

1⃣ Golongan Jin juga diperintahkan untuk beribadah kepada Allah, di antara mereka ada yang shalih dan juga kafir. (QS. Adz Dzariyat : 56 ; QS. Al Jin : 11-14)

2⃣ Jin juga makan dan minum
“Tulang dan kotoran binatang itu merupakan makanan jin”. (HR Bukhari).

3⃣ Jin berketurunan. (QS. Al-Kahfi : 50).

4⃣ Jin mengalami kematian (QS. Ar-Rahman : 26-28), kecuali Iblis dan juga syetan-syetan asli keturunan Iblis (menurut pendapat sebagian ulama) yang memang telah diberi masa tangguh untuk hidup sampai Hari Kiamat (QS. Al-A’raf : 14-15).

5⃣ Jin diberi kemampuan-kemampuan tertentu yang tidak diberikan kepada manusia, seperti :

✅a. Kecepatan bergerak dan berpindah tempat (QS An Naml : 39-40),

✅b. Terbang menembus langit untuk mencuri berita ghaib (QS. Al-Jinn : 8-9),

✅c. Kemampuan untuk berubah bentuk menyerupai manusia dan binatang, 
khususnya ular, kalajengking, dan anjing (lihat sebab turunnya QS Al-Anfal : 48, juga hadits Bukhari yang mengisahkan jin yang datang untuk mencuri harta zakat dan shadaqah yang ditunggui oleh Abu Hurairah),

✅d. Kemampuan luar biasa untuk membuat bangunan-bangunan besar dan hebat, menyelam ke dasar lautan yang paling dalam dan sebagainya (QS. Saba’ : 13, QS. Shaad : 35-38),

✅e. Setan mampu mempengaruhi manusia untuk berbuat jahat, membuat imajinasi sesat, membuat marah, lupa, cemburu yang berlebihan, 

✅f. Masuk dan merasuki diri manusia (QS. Al-Baqarah : 275, QS. An-Naas : 4-6)

✅g. Mampu mempengaruhi mimpi manusia

✅h. Tidak terlihat oleh manusia, namun bisa melihat manusia (QS. Al A'raf : 27)

Terakhir...

💥 Ringkasan Ciri-Ciri Jin dalam Al Quran & Hadits 📚

Ikhwany fillah... Arsyadany wa ArsyadakumuLlah...

1⃣ Memiliki kepala yang bertanduk,

2⃣ Memiliki akal, hati, mata, telinga dan tangan,

3⃣ Bisa bersuara dan membantah atau berdebat,

4⃣ Mereka juga bisa tertawa,

5⃣ Membutuhkan makan & minum, serta buang air kecil,

6⃣ Memiliki pasukan,

7⃣ Membutuhkan tempat tinggal, di antara tempat tinggalnya adalah pasar, tempat-tempat buang hajat, di lubang-lubang dan belahan-belahan tanah, di padang pasir, lembah, lorong, dan tempat-tempat yang ditinggalkan oleh penghuninya.

اللهم صلى على نبينا محمد و على آله و اصحابه و سلم...

وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَّاب

اخير الدعو انا، ان الحمد لله رب العلمين

Team Asaatidz AHQ
copaste by www.AinuRofik.com

Sabtu, 18 Juli 2015

Seputar Zakat Fitrah

بماذا تكون زكاة الفطر ؟
Zakat fitrah itu dgn apa ??

✅قال ابن باز:
Ibn baz berkata :
تخرج صاعا من طعام أو صاعا من تمر أو صاعا من شعير أو صاعا من زبيب أو صاعا من أقط ويلحق بهذه الأنواع في أصح أقوال العلماء كل ما يتقوت به الناس hفي بلادهم كالأرز والذرة والدخن ونحوها.
Dikeluarkan satu sha' dari makanan atau 1sha' dari tamar, ato 1sha' dari sya'iir, ato 1sha' kismis, ato 1sha' aqtha, pendapat inilah yg paling shahih dipakai menurut ulama setiap kali manusia ....denganya di negara mereka seperti beras, jagung, dan sebagainya 

متى وقت إخراج زكاة الفطر؟ 
Kapan dikeluarkan zakat fitri?

✅قال ابن باز:
إخراجها في اليوم الثامن والعشرين والتاسع والعشرين والثلاثين وليلة العيد ، وصباح العيد قبل الصلاة .
الفتاوى (14/32-33)
Ibn baz berkata :
Dikeluarkan pada 28, 29, 30 dan malam Ied, subuh Ied sebelum sholat.

سبب إخراج زكاة الفطر؟
Sebab dikeluarkannya zakat fitri

✅قال العثيمين:
إظهار شكر نعمة الله تعالى على العبد بالفطر من رمضان وإكماله. الفتاوى (١٨-٢٥٧).
Berkata utsaimin :
Menampakkan rasa syukur atas nikmat Allah atas hamba dgn fitri dari Ramadhan dengan menyempurnakan nya.

️من تصرف له زكاة الفطر؟
Siapa yg diberikan zakat fitri ?

✅قال العثيمين:
ليس لها إلا مصرف واحد وهم الفقراء. الفتاوى الفتاوى (18/259)
Berkata utsaimin :
Tidak lah diberikan kecuali hanya satu, dia adalah fuqara (orang yang fakir).

حكم توكيل الأولاد أو غيرهم في إخراج زكاة الفطر؟
Hukum mewakili anak2 atau yg lainnya pada mengeluarkan zakat fitri ??

✅قال العثيمين:
يجوز للإنسان أن يوكل أولاده أن يدفعوا عنه زكاة الفطر في وقتها، ولو كان في وقتها ببلد آخر للشغل. الفتاوى (18/262)
Berkata utsaimin ;
Dibolehkan seseorang me wakili anaknya untuk membayar akan zakat fitri pada waktunya walaupun pada masa tersebut sedang dinegara lain unt bekerja .

️هل يجوز للفقير أن يوكل شخصاً آخر في قبض زكاة الفطر ؟
Apakah bisa seorang yg fakir mewakili seorang yg lain untuk menerima zakat fitri ?

✅قال العثيمين:
ج : يجوز ذلك . الفتاوى (18/268)
Berkata utsaimin :
Bisa.

️هل من قول معين يقال عند إخراج زكاة الفطر؟
Apakah ada uncapan khusus ketika kita mengeluarkan zakat fitri ??

✅لا نعلم دعاء معينا يقال عند إخراجها. اللجنة الدائمة (9/387)
Kami tidak mengetahui doa khusus yg diucapkan ketika mengeluarkannya.

رحمهم الله جميعا
Semoga Allah merahmati kita semua....
Aamiin

copaste by www.AinuRofik.com

Senin, 13 Juli 2015

Zakat Fitrah

Istilah Zakat fitrah tidak asing bagi telinga kita pada setiap tahunnya kita
tidak pernah absen untuk menunaikannya.
1. Apa Hukumnya dan kepada siapa diwajibkannya?

Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin.sahabat abdulloh bin umar berkata:
فرض رسول اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم. زكاة الفطر صاعا من تمر او صاعا من شعر على العبد و الحر والزكر والانثى والصغير والكبير من المسلمين.

Rosululloh telah mewajibkan zakat fitroh berupa satu shoo kurma
atau gandum bagi budak, orang merdeka, laki laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin.(HR,Bukhori no 1503).

2. Dengan apa seseorang berzakat dan berapa ukurannya?

Yang dikeluarkan sebagai zakat fitroh adalah bahan makanan pokok suatu daerah.ukurannya satu shoo'.sebagaimana hadits abu sa'id al hudri رضي اللّٰه عنه.ia berkata:

Kami di jaman Nabi biasa mengeluarkan zakat fitrah berupa 1 shoo' makanan, satu shoo' gandum, satu shoo' kismis(Mutafaqun'alaih) dan dalam riwayat lain 1 shoo' keju.
Al Imam ibnul qoyyim ketika menyebutkan lima jenis bahan makanan di atas berkata:
ini semua merupakan mayoritas makanan pokok penduduk madinah,adapun jika penduduk suatu negri atau tempat makanan pokoknya selain itu(yang di sebutkan),maka di keluarkan satu shoo' dari makanan pokok mereka.
⏩Catatan.
Satu shoo' senilai dengan 4 mud.1 mud sama dengan 1 cakupan dari 2 telapak tangan yg berukuran sedang,atas dasar ini ada perbedaan pendapar para ulama dalam hal kepastian ukurannya, ada yg menyatan 1 shoo' senilai kurang lebih 2 kilo 40 gram, atau 2,04 kg sebagai fatwa asy syaikh muhammad bin sholih al utsaimin, ada yg menyatakan 3 kg sebagaimana pendapat syaikh abdul aziz bin abdulloh bin baz.adapun di negara kita umumnya senilai 2,5 kg.

3. BOLEHKAH ZAKAT FITROH DENGAN UANG?

Pendapat jumhur ulama diantaranya imam syafi'i, dan imam ahmad berpandangan tidak boleh mengeluarkan zakat fitroh dengan bentuk uang.
Imam Nawawi Berkata:
Pernyataan Imam syafi'i menunjukkan bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilai (mata uang).(AL MAJMU' 5/401)
Abu dawud mengatakan:
Aku mendengar Al Imam Ahmad di tanya bolehkah saya memberi uang dirham yakni zakat fitrah?
Beliau menjawab:
Saya khawatir tidak sah, karena menyelisihi sunnah رسول اللّٰه.
Asy syaikh Bin baz berkata:
Membayar zakat fitrah dengan uang tidak di perbolehkan menurut jumhur ulama, dan wajib di tunaikan dengan makanan pokok dan sebagaimana yang telah di tunaikan oleh Nabi dan Para sahabatnya.(Fatawa romadhon, hal 924).
Demikian pula yang di fatwakan oleh syaikh ibnul utsaimin dan asy syaikh sholih fauzan.(FATAWA RAMADHAN, HAL 918,920.
Yang demikian ini semata mata mengikuti sunnah رسول اللّٰه,karena telah ada di zaman رسول اللّٰه mata uang seperti dinar dan dirham,akan tetapi beliau dan para sahabatnya tidak pernah mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tertentu, dan merupakan keyakinan kaum muslimin bahwa syari'at ini merupakan mutlaq dari اللّٰه dan رسول nya, maka اللّٰه lah yang maha mengetahui hikmah dan syari'atnya.

4. KEPADA SIAPA DI SALURKAN?

Zakat fitrah ini di salurkan secara khusus untuk orang miskin.
Asy syaikh Al albani berkata:
Belum Ada dalam sunnah amaliyah (amalan nabi) yang menunjukkan tentang pembagian zakat fitrah seperti ini (untuk delapan golongan-pent) bahkan sabda beliau dalam hadits ibnu abbas رضي اللّٰه عنه

وطعمة للمساكين

....dan sebagai makanan untuk orang orang miskin.
menunjukkan pengkhususan untuk orang orang miskin.
adapun ayat (At Taubah:60) berlaku untuk zakat mal(harta) bukan zakat fitrah dengan dasar apa yang terdapat dalam ayat sebelumnya....,pendapat inilah yg dipilih syaikhul islam ibnu taimiyyah dan beliau mempunyai fatwa yg sangat bermanfaat dalam hal ini,sebagaimana yang terdapat dalam majmu' fatawa (juz 25,hal.71-78,pent).
pendapat ini juga yang di pegang oleh Asy syaukani dalam as sailur jarror(juz 2,hal 86-87).
oleh karena itu ibnul qoyyim berkata dalam zadul ma'ad( juz 2 hal 21):
Merupakan tuntunanya رسول اللّٰه pengkhususan zakat fitrah untuk orang orang miskin......(Tamamul minnah,hal 387-388).
Demikian pula yang di fatwakan oleh syaikh sholeh al fauzan, asy syaikh abdul aziz abdulloh bin baz, dan syaikh ibnul utsaimin(FATAWA RAMADHAN, HAL.920,924,936).

KAPAN WAKTU PENUNAIAN ZAKAT FITRAH

5. Kapan kah waktu penunaian zakat fitrah?

Waktu penunaian zakat fitrah adalah sebelum sholat idul fitri yaitu:
Sebelum orang orang berangkat menuju sholat atau sehari dua hari sebelumnya.Dan tidak boleh di tunaikan sesudah sholat idul fitri.
Hal ini berdasarkan beberapa riwayat:

1.Dari sahabat 'abdulloh bin 'umar ia berkata:

وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة.

.....Dan beliau رسول اللّٰه memerintahkan agar zakat fitrah ini di tunaikan sebelum keluarnya orang orang menuju sholat 'idul fitri.(HR, AL BUKHORI.NO.1503)

2.Dari nafi' ia berkata:
.....dahulu para sahabat رسول اللّٰه menunaikannya sehari atau dua hari sebelum sholat 'idul fitri.(HR.AL BUKHORI NO.1511).

3.Dari Ibnu Abbas .رسول اللّٰه bersabda:

و من اداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات.

Barang siapa menunaikannya sesudah sholat 'idul fitri, maka ia sebagai shodaqoh dari shodaqoh shodaqoh yang biasa ( tidak terhitung sebagai zakat fitrah-pent).(HR.ABU DAWUD)

Adapun bacaan khusus ketika menunaikannya, maka belum pernah ada keterangan dari رسول اللّٰه
baik untuk pemberi maupun penerima.
Namun di anjurkan bagi penerima zakat untuk mendoakan pemberi zakat, berdasarkan firman اللّٰه di QS.AT TAUBAH:103.

6. BAGAIMANA KALO DI TUNAIKAN DI AWAL ROMADHON?

Asy syaikh ibnul utsaimin berkata yang di tunaikan di awal ramadhan.
Dan pendapat yang rojih(kuat) adalah tidak boleh, karena tidaklah di beri nama dengan zakat fithr kecuali karena terjadi di akhir bulan(Menjelang idul fitri).
Rosululloh memerintahkan agar ia di tunaikan sebelum keluarnya orang orang menuju sholat 'idul fitri dan para sahabat pun menunaikannya sehari atau dua hari sebelum sholat 'id.(FATAWA RAMADHAN.HAL 953).

اللّٰه أعلم
copaste by www.AinuRofik.com

Hukum Puasa Bagi Musafir

I. Keringanan Bagi Musafir:

Musafir, orang yang melakukan perjalanan jauh dibolehkan berbuka dan tidak diwajibkan berpuasa, berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’.

Allah ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka siapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan).” [Al-Baqoroh: 184]

Dan firman Allah ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى

“Sesungguhnya Allah ta’ala meringankan sebagian sholat atau seperuh sholat dan puasa dari musafir dan dari wanita menyusui atau wanita hamil.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 2083]

Al-‘Allamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وقد أجمع العلماء أنه يجوز للمسافر الفطر

“Ulama sepakat bahwa dibolehkan bagi musafir untuk berbuka.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/326]

II. Bolehkah Musafir Berpuasa?

Pertama: Apabila musafir berpuasa akan membahayakannya atau sangat memberatkannya maka hukumnya haram, sebagaimana firman Allah ta’ala,

Allah ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ الله كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [An-Nisa’: 29]

Dan firman Allah ta’ala,

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” [Al-Baqoroh: 195]

Sahabat yang Mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma juga berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ، فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ، حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ، ثُمَّ شَرِبَ، فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ، فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar menuju Makkah di tahun Fathu Makkah di bulan Ramadhan, beliau ketika itu sedang berpuasa sampai tiba di bukit lembah Al-Ghamim, dan manusia ketika itu juga berpuasa, maka beliau meminta segelas air, lalu mengangkatnya agar manusia dapat melihatnya, kemudian beliau minum, maka dikatakan kepada beliau setelah itu: Sesungguhnya sebagian manusia masih ada yang berpuasa. Beliau bersabda: Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka adalah orang-orang yang bermaksiat.” [HR. Muslim]

Kedua: Apabila musafir berpuasa akan memberatkannya, namun ia masih mampu untuk berpuasa maka hukumnya makruh, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat kerumunan orang dan seseorang yang dinaungi (karena kepayahan). Beliau pun bersabda: Ada apa dengannya? Mereka berkata: Dia sedang puasa. Maka beliau bersabda: Tidak termasuk kebaikan, melakukan puasa ketika safar.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat An-Nasaai,

إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ، وَعَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا

“Sesungguhnya tidak termasuk kebaikan, kalian berpuasa ketika safar, hendaklah terhadap keringanan dari Allah yang Dia berikan kepada kalian, terimalah.” [HR. An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro dari Jabir radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 1054]

Dan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sesungguhnya Allah mencintai keringanan-keringanan dari-Nya diambil, sebagaimana Allah membenci kemaksiatan kepada-Nya dilakukan.” [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Shahihul Jaami’: 1886]

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

إذا اشتد الحر، وعظمت المشقة، تأكد الفطر، وكره الصوم للمسافر

“Apabila sangat panas dan berat bebannya maka dimakruhkan bagi musafir untuk berpuasa.” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]

Ketiga: Apabila musafir berpuasa tidak membahayakannya dan tidak pula memberatkannya, atau kondisinya sama saja, baik berbuka atau berpuasa tidak ada bedanya, maka boleh baginya untuk berpuasa dan boleh berbuka, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِر

“Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang puasa ketika safar? Beliau bersabda: Kalau kamu mau berpuasa silakan dan kalau kamu mau berbuka juga silakan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Juga hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau berkata,

كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

“Kami pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak puasa, dan orang yang tidak puasa tidak mencela orang yang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

ومن صام فلا حرج عليه إذا لم يشق عليه الصوم، فإن شق عليه الصوم كره له ذلك.

“Barangsiapa berpuasa maka tidak ada dosa atasnya apabila puasa tidak menyulitkannya, namun apabila memberatkannya maka dimakruhkan baginya berpuasa.” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]

III. Bagi Musafir yang Boleh Berbuka dan Boleh Berpuasa Manakah yang Lebih Afdhal?

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah menguatkan bahwa yang afdhal baginya adalah berpuasa karena empat alasan:[1]

Pertama: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berpuasa ketika safar. Sahabat yang Mulia Abu Ad-Darda’ radhiyallahu’anhu berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَابْنِ رَوَاحَةَ

“Kami keluar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebagian safar beliau di hari yang sangat panas, sampai seorang laki-laki meletakkan tangannya di atas kepala karena sangat panasnya, dan tidak ada seorang pun diantara kami yang berpuasa selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rowahah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Kedua: Berpuasa lebih cepat membebaskan diri dari kewajiban.

Ketiga: Berpuasa lebih mudah ketika dilakukan bersama-sama kebanyakan kaum muslimin daripada melakukannya sendiri.

Keempat: Berpuasa di bulan Ramadhan lebih afdhal.

IV. Jarak Safar yang Membolehkan Buka Puasa:

Jarak safar yang membolehkan seseorang berbuka puasa adalah jarak safar yang membolehkannya mengqoshor sholat, yaitu meringkas sholat yang tadinya empat raka’at menjadi dua raka’at. Berapa jarak minimalnya?

Pendapat Pertama: Mayoritas ulama berpendapat jarak minimalnya adalah kurang lebih 80 KM. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahiamahullah dan Al-Lajnah Ad-Daimah.[2]

Pendapat Kedua: Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak safar dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf) manusia. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[3] dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah.[4]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil yang shahih lagi sharih (tegas) yang menentukan jarak safar, maka dikembalikan kepada kebiasaan manusia.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

كُلُّ اسْمٍ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ فَالْمَرْجِعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ فَمَا كَانَ سَفَرًا فِي عُرْفِ النَّاسِ فَهُوَ السَّفَرُ الَّذِي عَلَّقَ بِهِ الشَّارِعُ الْحُكْمَ

“Setiap nama yang tidak memiliki batasan dalam bahasa dan tidak pula dalam syari’at, maka rujukan untuk menentukannya dikembalikan kepada kebiasaan, maka apa yang dianggap safar menurut kebiasaan manusia, itulah safar yang dikaitkan dengan hukum oleh Penetap syari’at.” [Majmu’ Fatawa, 24/40-41]

Bagaimana apabila seseorang sulit memastikan kebiasaan manusia dalam penentuan satu jarak safar karena perbedaan kebiasaan mereka?

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

ولا حرج عند اختلاف العرف فيه أن يأخذ الإنسان بالقول بالتحديد؛ لأنه قال به بعض الأئمة والعلماء المجتهدين, فليس عليهم به بأس إن شاء الله تعالى, أما مادام الأمر منضبطاً فالرجوع إلى العرف هو الصواب.

“Tidak mengapa ketika terjadi perbedaan kebiasaan dalam jarak tertentu sehingga seseorang mengambil pendapat yang menentukan jarak safar, karena itu adalah pendapat sebagian imam dan ulama mujtahid, maka tidak mengapa insya Allah, namun apabila perkaranya dapat dipastikan dengan kebiasaan maka dikembalikan kepada kebiasaan itulah yang benar.” [Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 15/265 no. 1098]

V. Kapan Musafir Mulai Berbuka?

Musafir baru dibolehkan berbuka ketika ia telah berstatus sebagai musafir, misalkan seseorang berniat di malam hari untuk safar di siang hari, maka tidak boleh ia masuk waktu pagi dalam keadaan tidak berpuasa, karena ia baru meniatkan safar, belum melakukan safar.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,

وَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ فِي الْمُسَافِرِ فِي رَمَضَانَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُبَيِّتَ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْمُسَافِرَ لَا يَكُونُ مُسَافِرًا بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا يَكُونُ مُسَافِرًا بِالْعَمَلِ وَالنُّهُوضِ فِي سَفَرِهِ

“Para Fuqoha sepakat dalam permasalahan musafir di bulan Ramadhan bahwa ia tidak boleh bermalam dalam keadaan berniat untuk tidak berpuasa, karena musafir tidak menjadi musafir dengan sekedar berniat safar, tetapi dengan perbuatan dan mulai melakukan safarnya.” [At-Tamhid, 22/49]

VI. Di Mana Musafir Dibolehkan Berbuka?

Pendapat Pertama: Apabila sudah meninggalkan perumahan kampungnya. Ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah.[5]

Pendapat Kedua: Apabila sudah siap melakukan safar walau masih berada di kampungnya. Ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.[6]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya dari Al-Imam Muhammad bin Ka’ab rahimahullah, beliau berkata,

أَتَيْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا، وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ، وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ، فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ، فَقُلْتُ لَهُ: سُنَّةٌ؟ قَالَ: سُنَّةٌ ثُمَّ رَكِبَ.

“Aku mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan dan beliau ingin melakukan safar, kendaraannya pun telah disiapkan dan beliau telah mengenakan pakaian safar, maka beliau meminta makanan lalu memakannya. Aku pun berkata kepadanya: Apakah ini sunnah? Beliau berkata: Ya sunnah. Kemudian beliau naik kendaraan.” [HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Tirmidzi, 1/419]

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ إِلَى هَذَا الحَدِيثِ، وَقَالُوا: لِلْمُسَافِرِ أَنْ يُفْطِرَ فِي بَيْتِهِ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقْصُرَ الصَّلاَةَ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ جِدَارِ الْمَدِينَةِ أَوِ القَرْيَةِ، وَهُوَ قَوْلُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الحَنْظَلِيِّ.

“Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini, mereka berkata: Boleh bagi musafir untuk berbuka di rumahnya sebelum keluar, tetapi tidak boleh baginya mengqoshor sholat sampai ia keluar dari perumahan kotanya atau kampungnya, ini adalah pendapat Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali.” [Sunan At-Tirmidzi, 2/155]

VII. Apabila Musafir Singgah di Suatu Negeri, Masih Bolehkah Baginya untuk Tidak Puasa?

Pendapat Pertama: Hanya dibolehkan bagi musafir yang tinggal sementara di suatu negeri dalam waktu kurang dari empat hari, apabila lewat empat hari maka wajib baginya puasa dan tidak boleh lagi mengqoshor sholat. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.[7]

Pendapat Kedua: Selama apa pun boleh baginya berbuka selama ia tidak berniat mukim. Pendapat ini yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.[8]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua, karena tidak ada dalil shahih dan sharih yang menunjukkan penentuan batas waktu bagi musafir yang singgah di satu negeri, maka selama ia tidak menetap statusnya masih musafir, berlaku baginya hukum-hukum musafir terkait sholat dan puasa, dan terdapat banyak riwayat para sahabat dan tabi’in yang tinggal sementara di satu negeri selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam keadaan mengqoshor sholat, karena mereka tidak berniat untuk menetap atau bermukim.

VIII. Apakah Orang yang Melakukan Safar dengan Pesawat Masih Boleh Berbuka?

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

ولا حرج فيه سواء كانت وسائل النقل مريحة أو شاقة لإطلاق الأدلة

“Tidak apa-apa bagi musafir untuk berbuka, sama saja apakah sarana transportasinya nyaman atau tidak nyaman, berdasarkan keumuman dalil-dalil (tidak memberikan pengecualian terhadap jenis transportasi tertentu).” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/236]

IX. Apabila Musafir Kembali Pulang di Siang Hari dalam Keadaan Tidak Berpuasa, Bolehkah Baginya Makan, Minum dan Berhubungan Suami Istri?

Tidak sah baginya berpuasa apabila telah masuk waktu pagi dalam keadaan berbuka atau tadinya berpuasa kemudian telah berbuka karena safar. Tetapi bolehkah ia makan, minum dan berhubungan suami istri apabila telah sampai ke rumahnya?

Pendapat Pertama: Tidak boleh karena statusnya bukan lagi musafir. Pendapat ini dikuatkan Al-Lajnah Ad-Daimah.[9]

Pendapat Kedua: Boleh karena ia berbuka dengan sebab yang dibolehkan syari’at. Pendapat ini dikuatkan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah.[10]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil shahih lagi sharih yang mengharuskannya untuk menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri dalam keadaan ia tidak berpuasa, dan terdapat beberapa riwayat dari Salaf yang menguatkan pendapat ini.

Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,

من أفطر أول النهار فليفطر آخره

“Barangsiapa dibolehkan berbuka di awal hari maka boleh baginya berbuka di akhirnya.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/54]

Al-Imam Malik dan Asy-Syafi’i rahimahumallah berkata,

وَلَوْ قَدِمَ مُسَافِرٌ فِي هَذِهِ الْحَالِ فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَدْ طَهُرَتْ جَازَ لَهُ وَطْؤُهَا

“Andai seorang musafir kembali dalam keadaan seperti ini, lalu ia mendapati istrinya baru bersih dari haid (dan tidak berpuasa karena haid), maka boleh baginya untuk menggauli istrinya tersebut.” [At-Tamhid, 22/53]

Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Ubaid, dari Jabir bin Zaid rahimahumullah,

أَنَّهُ قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَوَجَدَ الْمَرْأَةَ قَدِ اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا فَجَامَعَهَا

“Bahwa beliau ketika pulang dari safar di bulan Ramadhan, mendapati istrinya baru mandi besar dari haidnya, maka beliau menggaulinya.” [At-Tamhid, 22/53]

Peringatan: Suami istri yang melakukan safar bersama di bulan Ramadhan boleh berhubungan suami istri karena tidak wajib bagi mereka berpuasa, akan tetapi bila mereka melakukan safar hanya untuk mendapatkan keringanan berhubungan suami istri maka dosa mereka lebih besar, karena mereka telah membatalkan puasa dengan berjima’ dan melakukan tipu daya dalam syari’at, dan wajib atas mereka untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan membayar kaffaroh, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

➡X. Apa Kewajiban Musafir yang Tidak Berpuasa?

Kewajibannya hanyalah mengqodho’ sejumlah hari yang ia tidak berpuasa padanya di bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]

Termasuk orang-orang yang bekerja dalam keadaan safar seperti supir, pilot dan yang semisalnya, maka boleh bagi mereka untuk berbuka dan mengqoshor sholat, dan kewajiban mereka hanyalah mengqodho puasa setelah bulan Ramadhan (selain di hari-hari yang terlarang berpuasa, yaitu dua hari raya dan hari-hari Tasyriq).[11]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

-------------------

[1] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/330 dan 6/343.

[2] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 10/203, no. 7652.

[3] Lihat Majmu’ Fatawa, 24/38-44.

[4] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 15/265 no. 1098.

[5] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/346.

[6] Lihat risalah beliau yang berjudul “Tashih Hadits Ifthoris Shooim Qobla Safarihi wa Ba’dal Fajri.”

[7] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 12/276.

[8] Lihat Majmu’ Fatawa, 24/18.

[9] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/210 no. 1954.

[10] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409.

[11] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/212.

Sumber: http://sofyanruray.info/hukum-hukum-puasa-bagi-musafir/

copaste by www.AinuRofik.com

Hukum Mengucapkan MINAL 'AAIDIN WALFAAIZIN

oleh: Ust.Firanda Andirja MA

Pertanyaan:
Ustadz apa hukum mengucapkan "Minal 'Aaidin wal Faaizin" tatkala hari raya?

Jawaban :
Tahni'ah (ucapan selamat) untuk hari raya idul fitri asalnya merupakan perkara adat istiadat, maka boleh berekspresi dan berinovasi dalam menghaturkan ucapan tersebut selama tidak mengandung makna yang buruk. Dan lebih disukai jika dengan menggunakan lafal-lafal yang mengandung do'a.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
"Apakah hukum mengucapkan selamat hari raya?,
apakah ada lafal khusus?"
Beliau menjawab :
"Mengucapkan selamat hari raya adalah boleh, dan tidak ada ucapan dengan lafal tertentu, bahkan ucapan yang merupakan kebiasaan/tradisi masyarakat adalah boleh selama tidak mengandung (makna) dosa" (Majmuu' Fataawaa Syaikh Al-'Utsaimin 16/129)
Beliau juga berkata :
"Mengucapkan selamat hari raya dilakukan oleh sebagian sahabat radhiyallahu 'anhum. Seandainyapun tidak dilakukan oleh para sahabat maka hal itu sekarang sudah merupakan perkara tradisi masyarakat, mereka saling memberi ucapan selamat dengan tibanya hari raya dan sempurnanya puasa dan sholat malam" (Majmuu' Fataawaa Syaikh Al-'Utsaimin 16/128)

Beliau juga ditanya :
"Apa hukum berjabat tangan dan berpelukan dan mengucapkan selamat setelah sholat 'ied?"
Beliau menjawab :
"Seluruh perkara ini tidaklah mengapa, karena masyarakat melakukannya bukan sebagai ibadah dan taqorrub kepada Allah Azza wa Jalla, akan tetapi mereka melakukannya sebagai tradisi/adat, sebagai bentuk memuliakan dan penghormatan. Dan selama hal ini merupakan tradisi dan syari'at tidak melarangnya maka hukum asal dalam perkara adat/tradisi adalah boleh" (Majmuu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin 16/209)

Kesimpulan :
Pertama :
Pengucapan selamat idul fitri merupakan perkara adat dan tradisi, maka apa yang biasa diucapkan oleh masyarakat boleh untuk diucapkan selama tidak mengandung makna yang buruk atau dosa. Dan disukai jika ucapan tersebut mengandung doa yang baik, sebagaimana telah diriwayatkan dengan sanad yang hasan bahwa para sahabat jika bertemu tatkala hari raya maka mereka saling berkata : Taqobballallahu minnaa wa minkum
(Semoga Allah menerima ibadah kami dan kalian)

Kedua  :
Boleh mengucapkan lafal-lafal ucapan yang merupakan kebiasan masyarakat setempat selama tidak mengandung makna yang buruk atau dosa.
Diantara lafal-lafal ucapan selamat tersebut :-  Selamat Hari Lebaran/Idul Fitri tahun 2014 atau 1435 H- Minal 'Aaidiin wal Faaiziin, yang artinya ; "Selamat berhari 'ied dan semoga termasuk orang-orang yang telah menang (mendapatkan pahala)"
Ucapan ini pada dasarnya adalah do'a, dan juga sering diucapkan oleh orang-orang Arab, sebagaimana saya sering mendengarnya langsung.
Karenanya tidak perlu kita mempermasalahkan ucapan seperti ini dengan berandai-andai atau memaknainya dengan makna yang buruk. Karenanya tidak perlu kita mempersulit masyarakat dengan melarang mereka mengucapkan ucapan ini.- Mohon Maaf Lahir Batin
Ini adalah ucapan yang sering terucapkan tatkala hari raya. Tentunya maksud dari ucapan tersebut adalah maafkanlah aku jika aku punya salah, maafkanlah aku secara total, karena aku meminta maaf kepadamu secara total keseluruhan lahir dan batin.Meminta maaf merupakan perkara yang sangat terpuji jika seseorang memang benar-benar melakukan kesalahan, terlebih lagi jika ia segera meminta maaf dan tidak menunda-nundanya.

Akan tetapi ucapan ini sudah menjadi tradisi masyarakat kita dan diucapkan kepada siapa saja yang ia temui apakah ia bersalah kepada orang tersebut atau tidak. Bahkan diucapkan kepada orang yang baru saja ia temui dan belum ia kenal sebelumnya, yang bisa dipastikan bahwa ia tidak memiliki kesalahan terhadap orang tersebut.

Sehingga ucapan ini sudah menjadi paket bergandengan dengan "Minal 'Aidin wal Faizin".
Pada asalnya seseorang boleh-boleh saja meminta maaf tatkala hari raya, atau menjadikan hari raya adalah momen yang tepat untuk bersilaturahmi disertai meminta maaf. Akan tetapi hendaknya jangan sampai tradisi ini menjadikan seseorang menunda untuk meminta maaf hingga tiba hari raya.
Wallahu A'lam 

Ketiga :
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan ucapan selamat hari raya, sehari atau dua hari sebelum hari raya. Karena permasalahan mengucapkan selamat adalah perkara adat dan tradisi, maka hukum asalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarang.

Wallahu  A'lam.
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja www.firanda.com
berilmu sebelum berkata dan beramal
MENEBAR DAKWAH
Baarakallahu fiykum
copaste by www.AinuRofik.com

Minggu, 21 Juni 2015

Bagaimana Menentukan Masuknya Bulan Romadhon?

Fiqih Romadhon (Bag. 1) Bagaimana menentukan masuknya bulan Romadhon ?

Mayoritas ulama menganggap hanya dengan rukyat saja, jika tidak terlihat ketika tanggal 29 Sya’ban dengan sebab langit yang mendung, atau sedang ada badai pasir, maka keesokan harinya adalah hari ke 30 Sya’ban, meski ahli falak mengatakan bahwa hilal mungkin terlihat. Dalil mereka adalah :

وعن أبي هريرة : أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، قَالَ: (( صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْم ، فَأكمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ )) متفقٌ عَلَيْهِ
Berpuasalah kalian dengan melihat rukyat, dan berbukalah (maksudnya adalah idul fitri-pen) dengan melihat rukyat, jika tertutup oleh kalian (karena awan) maka sempurnakanlah hitungan sya’ban menjadi 30 hari (HR Muslim) .

Bagaimana Jika Sebagian Negara Terlihat dan Sebagian Lainnya Tidak Terlihat?
Masalah ini sudah menjadi hal yang terdengar setiap tahunnya. Jika di Timur Tengah terlihat, apakah melazimkan semua negeri yang terdengar kabar ini wajib berpuasa meski di negrinya telah lewat waktu maghrib dan belum terlihat? Apakah setelah matahari terbenam kita tetap menunggu 4 jam kemudian untuk mendapat kabar apakah di Timur Tengah terlihat hilal itu atau tidak?

Dalam hal ini ulama berbeda pendapat :

Yang pertama : bahwa jika terlihat hilal di sebuah tempat, maka wajib bagi kaum muslimin semuanya untuk berpuasa. Pendapat ini menyatakan bahwa perbedaan tempat dan waktu terbit bulan itu tidak mempengaruhi. Dan ini adalah pendapat jumhur ahli fiqh dari madzhab hanafi, maliki, hanbali, sebagian syafiiah, dan pendapat imam asyyaukani dan ini dirojihkan oleh dr. Wahbah Zuhaili  dan dikuatkan pula oleh syekh Albani bahkan beliau menukil pendapat yang sejalan dari ibnu Taimiyyah   dan dikuatkan oleh syekh Ahmad Syakir. Dan pendapat inilah yang diputuskan oleh  majelis perkumpulan fiqih islami internasional (di muktamar ke 3 yang diadakan di Amman ibukota Yordan tanggal 8-13 Shofar 1407 / 11-16 Oktober 1986).

Yang kedua : bahwa setiap negara berpuasa berdasarkan rukyat penduduk negara setempat. Pendapat ini menganggap setiap negara yang memiliki pemimpin sendiri, ia mengikuti hasil rukyat negara tersebut, meski negara tetangga memiliki hasil rukyat yang berbeda. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rohaweih, Salim, AlQosim, dan Ikrimah.

Yang ketiga : bahwa jika terlihat hilal di suatu negara, maka wajib berpuasa bagi penduduk negara itu dan negara-negara sekitar yang waktunya tidak berbeda teralu jauh. Ini adalah pendapat yang dianggap oleh Mazhab Syafii, dan pendapat sebagian Mazhab Abu Hanifah dan dirojihkan oleh Ibnu Taimiyyah dan dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin dan yang lainnya.

Kami menyebutkan pendapat-pendapat ulama ini supaya masyarakat mengetahui, bahwa di dalam hal ini ada perbedaan yang sangat kuat yang sangat sulit untuk disatukan. Di sebagian negara dilarang untuk mengadakan shola ied dua kali, sebagaimana di Indonesia era dahulu. Maka urusan semakin mudah, sebagaimana para ahli fiqih menyatakan bahwa keputusan pemerintah yang sah itu menghilangkan perbedaan pendapat, artinya wajib untuk ikut ke keputusan tersebut.

Jika ada seorang yang berpendapat menyelisihi pendapat yang dilazimkan oleh pemerintah, maka ia tidak boleh mengumumkan memulai puasa sebelum atau sesudah hari yang ditentukan pemerintah tersebut. Dan juga tidak boleh mendirikan sholat ied sendiri. Maka ia harus memulai puasa secara diam-diam, dan mengakhiri juga dengan diam-diam. Dan tidak mengapa bagi dia untuk sholat ied di hari kedua bulan Syawal supaya tidak terjadi fitnah.

Adapun di negara yang cenderung bebas (seperti Indonesia) maka sebaiknya tetap berusaha untuk menjadikan hari raya itu satu hari, demi menjaga barisan kaum muslimin. Namun jika tidak mampu dan tidak bisa, maka pengikut setiap pendapat akan menjalankan sholat ied sesuai dengan pendapat yang dia yakini lebih kuat. Dan tidak perlu adanya cemooh dan perilaku keras terhadap pengikut pendapat yang menyelisihinya.

(Ust. Faiz Baraja, Al Hafizh)

copaste by www.AinuRofik.com by Kajian Serambi Ma’rifat

Untuk pendaftaran silahkan ketik:
BC(spasi)NAMA(spasi)ALAMAT
Kirim ke:
082 1991 616 47 (Whatsapp)

Untuk Infaq Pengembangan dakwah silahkan hubungi
08564 757 3338 (Whatsapp)

Nb: Bagi yg sudah mendapat kiriman kajian dari 2 nomer di atas untuk tidak mendaftar lagi.

Sebarkan !

Berapa Jumlah Rakaat Sholat Tarawih?

Berapa jumlah rakaat sholat tarawih?
Oleh: Ust. Faiz Baraja

Yang benar adalah tidak mengapa sholat lebih dari 11 rokaat, sebab riwayat dari sahabat dan para ulama yang sampai ke kita mereka semua sholat lebih dari 11 roka’at di bulan Romadhon maupun diluarnya.

Dari Saib bin yazid bahwa di zaman Umar bin Khottob mereka sholat tarawih berjamaah 21 rokaat (HR Abdurrozaq di mushonnafnya)

Dari said bin abi arubah dari hasan Albasri bahwa mereka sholat tarawih 39/41 rokaat (HR Abdurrozaq di mushonnafnya).
Dan masih banyak riwayat yang lain yang menerangkan bahwa sholat tarawih tidak terikat dengan jumlah rokaat tertentu. Adapun mayoritas ulama dari mazhab Abu Hanifah, Syafi’I, Ahmad dan sebagian Malikiyah berpendapat bahwa sholat tarawih 20 rakaat. Ibnu Abidin berkata ‘inilah yang diamalkan manusia dari timur dan barat’

Bagaimana sifat sholat tarawih ?

Sholat tarawih dilaksanakan mulai setelah sholat isya hingga terbit fajar. Setiap dua rokaat duduk dan salam. Dalam mazhab Malik tidak menyukai sholat 4 roka’at dalam satu salam dan menyatakan yang lebih utama adalah salam setiap dua roka’at.
Adapun mazhab Syafi’I menyatakan batal sholatnya jika tidak salam setelah dua rokaat.
Hal ini didasarkan hadist Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa sholat malam itu dua rokaat dua rokaat. (HR Muslim)

copaste from Kajian Serambi Ma’rifat by www.AinuRofik.com

Untuk pendaftaran silahkan ketik:
BC(spasi)NAMA(spasi)ALAMAT
Kirim ke:
082 1991 616 47 (Whatsapp)

Untuk Infaq Pengembangan dakwah silahkan hubungi
08564 757 3338 (Whatsapp)

Nb: Bagi yg sudah mendapat kiriman kajian dari 2 nomer di atas untuk tidak mendaftar lagi.

Sebarkan !

Sabtu, 20 Juni 2015

KEUTAMAAN ISYA DAN SHUBUH BERJAMAAH

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ، وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ

"Barangsiapa sholat Isya berjamaah maka seperti dia sholat setengah malam, dan barangsiapa yang sholat Isya dan sholat Fajar berjamaah maka seperti dia sholat semalam penuh".

[HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh al-Albany].

Jika waktu dalam satu malam kita hitung mulai jam 18.00 hingga jam 04.00, maka panjang waktunya adalah 10 jam, sehingga apabila seorang hamba melaksanakan sholat Isya dan Shubuh berjamaah di masjid, maka seakan-akan dia sholat selama 10 jam setiap harinya dan mendapatkan pahalanya semalam penuh.

Jadi jika semalam kita sholat Isya dan Shubuhnya berjamaah, bersyukurlah..

Oleh: Ustadz Askar Wardhana, Lc.
Suara Al-Iman
Radio 846 AM SURABAYA
Website www.suaraaliman.com
Youtube.com/user/suaraalimantv
fb.com/radiosuaraaliman
Sms center/WA 087770000846
copaste by www.AinuRofik.com

Antara Tarawih & Tahajud

Masalah shalat tarawih dan tahajjud memang seringkali menjadi bahan perbedaan pandang para ulama.

Ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya shalat tarawih itu adalah shalat tahajjud juga. Bedanya hanya kalau dilakukan di bulan Ramadhan, namanya menjadi shalat tarawih. Sedangkan kalau dikerjakan bukan di bulan Ramadhan, namanya tahajjud.

Berangkat dari pendapat ini, maka bila seseorang telah melakukan shalat tarawih, tidak perlu lagi melakukan shalat tahajjud. Ditambah lagi apabila sudah shalat witir, karena menurut pendapat ini, setelah shalat witir tidak boleh lagi ada shalat di malam itu.

Namun di sisi lain, umumnya ulama membedakan antara shalat tarawih dengan tahajjud. Keduanya punya dasar yang berbeda. Semua hadits yang berbicara tentang shalat malam Rasulullah SAW yang 8 atau 11 atau 13 rakaat, menurut pendapat ini merupakan dalil tentang shalat malam (tahajjud), bukan shalat tarawih.

Shalat tarawih punya dalil tersendiri.

Dari Aisyah Ra. sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam pernah melaksankan sholat kemudian orang-orang sholat dengan sholatnya tersebut, kemudian beliau sholat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah banyak kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah SAW tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah SAW berkata, “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (sholat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau khawati bahwa sholat tersebut akan difardukan.” Rawi hadis berkata, "Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan.” (HR Bukhori 923 dan Muslim 761)

Dahulu Rasulullah SAW pernah melakukannya di masjid bersama dengan beberapa shahabat. Namun pada malam berikutnya, jumlah mereka menjadi bertambah banyak. Dan semakin bertambah lagi pada malam berikutnya.

Sehingga kemudian Rasulullah SAW memutuskan untuk tidak melakukannya di masjid bersama para shahabat. Alasan yang dikemukakan saat itu adalah takut shalat tarawih itu diwajibkan. Karena itu kemudian mereka shalat sendiri-sendiri.

Hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut seraya mengomentari, ”Ini adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yatiu sesuai yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.

Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.

Adapun tahajjud atau qiamullail, adalah shalat yang biasa dilakukan Rasulullah SAW baik di malam Ramadhan atau di luar Ramadhan. Dan shalat itu bukan shalat tarawih itu sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa pada malam Ramadhan, Rasulullah SAW shalat tarawih di awal malam ba‘da isya‘ lalu tidur dan pada akhir malam beliau melakukan shalat tahajjud hingga sahur.

Nampaknya hal itu pula yang hingga kini dilakukan oleh sebagian umat Islam di berbagai belahan dunia.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.
copaste by www.AinuRofik.com

Selasa, 19 Mei 2015

Hukum Membaca Quran dengan Langgam Jawa

Belakangan ini ramai di Media Sosial masalah membaca Quran dengan langgam Jawa. Berikut beberapa pendapat dari para ahli.

http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1431011215
copaste by www.AinuRofik.com

Selasa, 28 April 2015

Taubat dari Syirik

Orang yang berbuat syirik, saudara sekalian dan dia meninggal dunia tanpa bertaubat kepada Allāh, maka dosa syirik tersebut tidak akan diampuni. Namun apabila dia bertaubat sebelum dia meninggal, maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan mengampuni dosanya, bagaimanapun besarnya dosa tersebut.

Taubat nasuha adalah taubat yang terpenuhi didalamnya 3 syarat:
Menyesal
Meninggalkan perbuatan tersebut
Bertekat kuat untuk tidak mengulangi lagi

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ الله إِنَّ الله يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang telah malampaui batas terhadap diri sendiri (yaitu dengan berbuat dosa), janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allāh. Sesungguhnya Allāh mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS (AzZumar ayat 53)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ الله يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

Sesungguhnya Allāh menerima taubat seorang hamba selama ruh belum sampai ke tenggorokan. (Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan juga Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah).

Para sahabat nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak semuanya lahir dalam keadaan Islam, bahkan banyak diantara mereka yang masuk Islam ketika sudah besar. Dan sebelumnya bergelimang dengan kesyirikan. Supaya tidak terjerumus kembali ke dalam kesyirikan, maka seseorang harus mempelajari tauhid dan memahaminya dengan baik, mengetahui jenis-jenis kesyirikan, sehingga dia bisa menjauhi kesyirikan tersebut.
copaste by www.AinuRofik.com

Senin, 20 April 2015

Bulan Rajab Anjurannya Lebih Memperbanyak Puasa, Walau Tidak Ada Puasa Khususnya

Tidak terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab. Baik bentuknya shalat, puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang menyebutkan amalan bulan Rajab adalah hadis bathil dan tertolak.

Ibnu Hajar mengatakan,

لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ

“Tidak terdapat riwayat yang shahih, bisa untuk dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab atau shalat tahajjud di malam tertentu. Keterangan saya ini telah didahului oleh ketengan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al Harawi.” (Tabyinul Ujub bimaa Warada fii Fadli Rajab, Hal. 6)

Imam Ibn Rajab mengatakan,

أما الصلاة فلم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء

“Tidak terdapat dalil yang shahih, yang menyebutkan adanya anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, bathil, dan tidak shahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 213)

Terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan, tidak ada satu pun hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan,

في الجنة قصر لصوام رجب

“Di surga terdapat istana untuk orang yang rajinberpuasa di bulan Rajab.”

Namun riwayat bukan hadis. Imam Al Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah:

أبو قلابة من كبار التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ

“Abu Qilabah termasuk tabi’in senior, beliau tidak menyampaikan riwayat itu kecuali karena kabar tanpa sanad.” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 213)

Pertama, Puasa sunah bulan haram
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa dibulan Rajab dengan niat puasa sunah di bulan-bulan haram, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadis yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenasihatkan, “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فمن الحرم و أفطر

“Puasalah di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).” (Hadis ini dishahihkan sebagaian ulama dan didhaifkan ulama lainnya). Namun diriwayatkan bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram. Dinataranya: Ibn Umar, Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Subai’i.

Kedua, Mengkhususkan Umrah di bulan Rajab
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari Aisyah.

يغفر الله لأبي عبد الرحمن، لعمري، ما اعتمر في رجب

“Semoga Allah mengampuni Abu Abdirrahmah (Ibnu Umar). Sepanjang usiaku, beliau belum pernah Umrah di bulan Rajab.”
Ibnu Umar mendengar hal ini dan beliau diam saja. (HR. Muslim, 1255)

Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah bulan Rajab. Aisyah dan Ibnu Umar juga melaksanakan umrah bulan Rajab.

Ibnu Sirin menyatakan, bahwa para sahabat melakukan hal itu. Karena rangkaian haji dan umrah yang paling bagus adalah melaksanakan haji dalam satu perjalanan sendiri dan melaksanakan umrah dalam satu perjalanan yang lain, selain di bulan haji. (Al Bida’ Al Hauliyah, Hal. 119).

Dari penjelasan Ibnu Rajab menunjukkan bahwa melakukan umrah di bulan Rajab hukumnya dianjurkan. Beliau berdalil dengan anjuran Umar bin Khatab untuk melakukan umrah di bulan Rajab. Dan dipraktikkan oleh Aisyah dan Ibnu Umar.

Diriwayatkan Al Baihaqi, dari Sa’id bin Al Musayib, bahwa Aisyah radliallahu ‘anha melakukan umrah di akhir bulan Dzulhijjah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan)

Namun ada sebagian ulama yang menganggap umrah di bulan Rajab tidak dianjurkan. Karena tidak ada dalil khusus terkait umrah bulan Rajab. Ibnu Atthar mengatakan, “Di antara berita yang sampai kepadaku dari penduduk Mekah, banyaknya kunjungan di bulan Rajab. Kejadian ini termasuk masalah yang belum kami ketahui dalilnya. Bahkan terdapat hadis yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Umrah di bulan Ramadhan nilainya seperti haji’.” (HR. Al Bukhari)

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengatakan, bahwa para ulama mengingkari sikap mengkhususkan bulan Rajab untuk memperbanyak melaksanakan umrah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6:131)

Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.

Andaikan ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamakan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau memberi tahu umatnya akan keutamaan umrah di bulan Ramadlan. Sedangkan riwayat dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya dipermasalahkan.

Ketiga, Menyembelih hewan (Atirah)
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajabuntuk tujuan beribadah.

Ulama berselisih pendapat tentang hukum Atirah.

Pendapat pertama, athirah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentangAthirah, kemudian beliau menjawab:

الْعَتِيرَةُ حَقٌّ

“Athirah itu hak.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan As Suyuthi dalam Jami’us Shaghir)

Pendapat kedua, Atirah tidak disyariatkan, namun tidak makruh. Dalilnya, hadis dari Abu Razin, Laqirh bin Amir Al Uqaili, beliau bertanya kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami menyembelih hewan di bulan Rajab di zaman Jahilliyah. Kami memakannya dan memberi makan tamu yang datang.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak masalah.” (HR. An Nasa’i, Ad Darimi, dan Ibn Hibban)

Pendapat ketiga, Atirah hukumnya makruh. Berdasarkan hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada Fara’a dan tidak ada Atirah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Fara’a adalah anak pertama binatang, yang disembelih untuk berhala.

Pendapat keempat, Atirah hukumnya haram. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnul Qoyim dan Ibnul Mundzir. Ibnul Qoyim mengatakan, “Dulu masyarakat Arab melakukan Atirah di masa jahiliyah, kemudian mereka tetap melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammendukungnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, melalui sabdanya, “Tidak ada fara’a dan tidak ada Atirah.” akhirnya para sahabat meninggalkannya, karena adanya larangan beliau. Dan telah dipahami bersama, bahwa larangan itu hanya akan muncul, jika sebelumnya ada yang melakukannya. Sementara tidak kita jumpai adanya satupun ulama yang mengatakan, Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangAtirah kemudian beliau membolehkannya kembali…” (Tahdzib Sunan Abu Daud, 4:92 – 93). Insya Allah, pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.
copaste by www.AinuRofik.com