Sabtu, 18 Juli 2015

Seputar Zakat Fitrah

بماذا تكون زكاة الفطر ؟
Zakat fitrah itu dgn apa ??

✅قال ابن باز:
Ibn baz berkata :
تخرج صاعا من طعام أو صاعا من تمر أو صاعا من شعير أو صاعا من زبيب أو صاعا من أقط ويلحق بهذه الأنواع في أصح أقوال العلماء كل ما يتقوت به الناس hفي بلادهم كالأرز والذرة والدخن ونحوها.
Dikeluarkan satu sha' dari makanan atau 1sha' dari tamar, ato 1sha' dari sya'iir, ato 1sha' kismis, ato 1sha' aqtha, pendapat inilah yg paling shahih dipakai menurut ulama setiap kali manusia ....denganya di negara mereka seperti beras, jagung, dan sebagainya 

متى وقت إخراج زكاة الفطر؟ 
Kapan dikeluarkan zakat fitri?

✅قال ابن باز:
إخراجها في اليوم الثامن والعشرين والتاسع والعشرين والثلاثين وليلة العيد ، وصباح العيد قبل الصلاة .
الفتاوى (14/32-33)
Ibn baz berkata :
Dikeluarkan pada 28, 29, 30 dan malam Ied, subuh Ied sebelum sholat.

سبب إخراج زكاة الفطر؟
Sebab dikeluarkannya zakat fitri

✅قال العثيمين:
إظهار شكر نعمة الله تعالى على العبد بالفطر من رمضان وإكماله. الفتاوى (١٨-٢٥٧).
Berkata utsaimin :
Menampakkan rasa syukur atas nikmat Allah atas hamba dgn fitri dari Ramadhan dengan menyempurnakan nya.

️من تصرف له زكاة الفطر؟
Siapa yg diberikan zakat fitri ?

✅قال العثيمين:
ليس لها إلا مصرف واحد وهم الفقراء. الفتاوى الفتاوى (18/259)
Berkata utsaimin :
Tidak lah diberikan kecuali hanya satu, dia adalah fuqara (orang yang fakir).

حكم توكيل الأولاد أو غيرهم في إخراج زكاة الفطر؟
Hukum mewakili anak2 atau yg lainnya pada mengeluarkan zakat fitri ??

✅قال العثيمين:
يجوز للإنسان أن يوكل أولاده أن يدفعوا عنه زكاة الفطر في وقتها، ولو كان في وقتها ببلد آخر للشغل. الفتاوى (18/262)
Berkata utsaimin ;
Dibolehkan seseorang me wakili anaknya untuk membayar akan zakat fitri pada waktunya walaupun pada masa tersebut sedang dinegara lain unt bekerja .

️هل يجوز للفقير أن يوكل شخصاً آخر في قبض زكاة الفطر ؟
Apakah bisa seorang yg fakir mewakili seorang yg lain untuk menerima zakat fitri ?

✅قال العثيمين:
ج : يجوز ذلك . الفتاوى (18/268)
Berkata utsaimin :
Bisa.

️هل من قول معين يقال عند إخراج زكاة الفطر؟
Apakah ada uncapan khusus ketika kita mengeluarkan zakat fitri ??

✅لا نعلم دعاء معينا يقال عند إخراجها. اللجنة الدائمة (9/387)
Kami tidak mengetahui doa khusus yg diucapkan ketika mengeluarkannya.

رحمهم الله جميعا
Semoga Allah merahmati kita semua....
Aamiin

copaste by www.AinuRofik.com

Senin, 13 Juli 2015

Zakat Fitrah

Istilah Zakat fitrah tidak asing bagi telinga kita pada setiap tahunnya kita
tidak pernah absen untuk menunaikannya.
1. Apa Hukumnya dan kepada siapa diwajibkannya?

Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin.sahabat abdulloh bin umar berkata:
فرض رسول اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم. زكاة الفطر صاعا من تمر او صاعا من شعر على العبد و الحر والزكر والانثى والصغير والكبير من المسلمين.

Rosululloh telah mewajibkan zakat fitroh berupa satu shoo kurma
atau gandum bagi budak, orang merdeka, laki laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin.(HR,Bukhori no 1503).

2. Dengan apa seseorang berzakat dan berapa ukurannya?

Yang dikeluarkan sebagai zakat fitroh adalah bahan makanan pokok suatu daerah.ukurannya satu shoo'.sebagaimana hadits abu sa'id al hudri رضي اللّٰه عنه.ia berkata:

Kami di jaman Nabi biasa mengeluarkan zakat fitrah berupa 1 shoo' makanan, satu shoo' gandum, satu shoo' kismis(Mutafaqun'alaih) dan dalam riwayat lain 1 shoo' keju.
Al Imam ibnul qoyyim ketika menyebutkan lima jenis bahan makanan di atas berkata:
ini semua merupakan mayoritas makanan pokok penduduk madinah,adapun jika penduduk suatu negri atau tempat makanan pokoknya selain itu(yang di sebutkan),maka di keluarkan satu shoo' dari makanan pokok mereka.
⏩Catatan.
Satu shoo' senilai dengan 4 mud.1 mud sama dengan 1 cakupan dari 2 telapak tangan yg berukuran sedang,atas dasar ini ada perbedaan pendapar para ulama dalam hal kepastian ukurannya, ada yg menyatan 1 shoo' senilai kurang lebih 2 kilo 40 gram, atau 2,04 kg sebagai fatwa asy syaikh muhammad bin sholih al utsaimin, ada yg menyatakan 3 kg sebagaimana pendapat syaikh abdul aziz bin abdulloh bin baz.adapun di negara kita umumnya senilai 2,5 kg.

3. BOLEHKAH ZAKAT FITROH DENGAN UANG?

Pendapat jumhur ulama diantaranya imam syafi'i, dan imam ahmad berpandangan tidak boleh mengeluarkan zakat fitroh dengan bentuk uang.
Imam Nawawi Berkata:
Pernyataan Imam syafi'i menunjukkan bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilai (mata uang).(AL MAJMU' 5/401)
Abu dawud mengatakan:
Aku mendengar Al Imam Ahmad di tanya bolehkah saya memberi uang dirham yakni zakat fitrah?
Beliau menjawab:
Saya khawatir tidak sah, karena menyelisihi sunnah رسول اللّٰه.
Asy syaikh Bin baz berkata:
Membayar zakat fitrah dengan uang tidak di perbolehkan menurut jumhur ulama, dan wajib di tunaikan dengan makanan pokok dan sebagaimana yang telah di tunaikan oleh Nabi dan Para sahabatnya.(Fatawa romadhon, hal 924).
Demikian pula yang di fatwakan oleh syaikh ibnul utsaimin dan asy syaikh sholih fauzan.(FATAWA RAMADHAN, HAL 918,920.
Yang demikian ini semata mata mengikuti sunnah رسول اللّٰه,karena telah ada di zaman رسول اللّٰه mata uang seperti dinar dan dirham,akan tetapi beliau dan para sahabatnya tidak pernah mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tertentu, dan merupakan keyakinan kaum muslimin bahwa syari'at ini merupakan mutlaq dari اللّٰه dan رسول nya, maka اللّٰه lah yang maha mengetahui hikmah dan syari'atnya.

4. KEPADA SIAPA DI SALURKAN?

Zakat fitrah ini di salurkan secara khusus untuk orang miskin.
Asy syaikh Al albani berkata:
Belum Ada dalam sunnah amaliyah (amalan nabi) yang menunjukkan tentang pembagian zakat fitrah seperti ini (untuk delapan golongan-pent) bahkan sabda beliau dalam hadits ibnu abbas رضي اللّٰه عنه

وطعمة للمساكين

....dan sebagai makanan untuk orang orang miskin.
menunjukkan pengkhususan untuk orang orang miskin.
adapun ayat (At Taubah:60) berlaku untuk zakat mal(harta) bukan zakat fitrah dengan dasar apa yang terdapat dalam ayat sebelumnya....,pendapat inilah yg dipilih syaikhul islam ibnu taimiyyah dan beliau mempunyai fatwa yg sangat bermanfaat dalam hal ini,sebagaimana yang terdapat dalam majmu' fatawa (juz 25,hal.71-78,pent).
pendapat ini juga yang di pegang oleh Asy syaukani dalam as sailur jarror(juz 2,hal 86-87).
oleh karena itu ibnul qoyyim berkata dalam zadul ma'ad( juz 2 hal 21):
Merupakan tuntunanya رسول اللّٰه pengkhususan zakat fitrah untuk orang orang miskin......(Tamamul minnah,hal 387-388).
Demikian pula yang di fatwakan oleh syaikh sholeh al fauzan, asy syaikh abdul aziz abdulloh bin baz, dan syaikh ibnul utsaimin(FATAWA RAMADHAN, HAL.920,924,936).

KAPAN WAKTU PENUNAIAN ZAKAT FITRAH

5. Kapan kah waktu penunaian zakat fitrah?

Waktu penunaian zakat fitrah adalah sebelum sholat idul fitri yaitu:
Sebelum orang orang berangkat menuju sholat atau sehari dua hari sebelumnya.Dan tidak boleh di tunaikan sesudah sholat idul fitri.
Hal ini berdasarkan beberapa riwayat:

1.Dari sahabat 'abdulloh bin 'umar ia berkata:

وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة.

.....Dan beliau رسول اللّٰه memerintahkan agar zakat fitrah ini di tunaikan sebelum keluarnya orang orang menuju sholat 'idul fitri.(HR, AL BUKHORI.NO.1503)

2.Dari nafi' ia berkata:
.....dahulu para sahabat رسول اللّٰه menunaikannya sehari atau dua hari sebelum sholat 'idul fitri.(HR.AL BUKHORI NO.1511).

3.Dari Ibnu Abbas .رسول اللّٰه bersabda:

و من اداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات.

Barang siapa menunaikannya sesudah sholat 'idul fitri, maka ia sebagai shodaqoh dari shodaqoh shodaqoh yang biasa ( tidak terhitung sebagai zakat fitrah-pent).(HR.ABU DAWUD)

Adapun bacaan khusus ketika menunaikannya, maka belum pernah ada keterangan dari رسول اللّٰه
baik untuk pemberi maupun penerima.
Namun di anjurkan bagi penerima zakat untuk mendoakan pemberi zakat, berdasarkan firman اللّٰه di QS.AT TAUBAH:103.

6. BAGAIMANA KALO DI TUNAIKAN DI AWAL ROMADHON?

Asy syaikh ibnul utsaimin berkata yang di tunaikan di awal ramadhan.
Dan pendapat yang rojih(kuat) adalah tidak boleh, karena tidaklah di beri nama dengan zakat fithr kecuali karena terjadi di akhir bulan(Menjelang idul fitri).
Rosululloh memerintahkan agar ia di tunaikan sebelum keluarnya orang orang menuju sholat 'idul fitri dan para sahabat pun menunaikannya sehari atau dua hari sebelum sholat 'id.(FATAWA RAMADHAN.HAL 953).

اللّٰه أعلم
copaste by www.AinuRofik.com

Hukum Puasa Bagi Musafir

I. Keringanan Bagi Musafir:

Musafir, orang yang melakukan perjalanan jauh dibolehkan berbuka dan tidak diwajibkan berpuasa, berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’.

Allah ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka siapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan).” [Al-Baqoroh: 184]

Dan firman Allah ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى

“Sesungguhnya Allah ta’ala meringankan sebagian sholat atau seperuh sholat dan puasa dari musafir dan dari wanita menyusui atau wanita hamil.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 2083]

Al-‘Allamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وقد أجمع العلماء أنه يجوز للمسافر الفطر

“Ulama sepakat bahwa dibolehkan bagi musafir untuk berbuka.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/326]

II. Bolehkah Musafir Berpuasa?

Pertama: Apabila musafir berpuasa akan membahayakannya atau sangat memberatkannya maka hukumnya haram, sebagaimana firman Allah ta’ala,

Allah ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ الله كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [An-Nisa’: 29]

Dan firman Allah ta’ala,

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” [Al-Baqoroh: 195]

Sahabat yang Mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma juga berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ، فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ، حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ، ثُمَّ شَرِبَ، فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ، فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar menuju Makkah di tahun Fathu Makkah di bulan Ramadhan, beliau ketika itu sedang berpuasa sampai tiba di bukit lembah Al-Ghamim, dan manusia ketika itu juga berpuasa, maka beliau meminta segelas air, lalu mengangkatnya agar manusia dapat melihatnya, kemudian beliau minum, maka dikatakan kepada beliau setelah itu: Sesungguhnya sebagian manusia masih ada yang berpuasa. Beliau bersabda: Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka adalah orang-orang yang bermaksiat.” [HR. Muslim]

Kedua: Apabila musafir berpuasa akan memberatkannya, namun ia masih mampu untuk berpuasa maka hukumnya makruh, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat kerumunan orang dan seseorang yang dinaungi (karena kepayahan). Beliau pun bersabda: Ada apa dengannya? Mereka berkata: Dia sedang puasa. Maka beliau bersabda: Tidak termasuk kebaikan, melakukan puasa ketika safar.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat An-Nasaai,

إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ، وَعَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا

“Sesungguhnya tidak termasuk kebaikan, kalian berpuasa ketika safar, hendaklah terhadap keringanan dari Allah yang Dia berikan kepada kalian, terimalah.” [HR. An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro dari Jabir radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 1054]

Dan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sesungguhnya Allah mencintai keringanan-keringanan dari-Nya diambil, sebagaimana Allah membenci kemaksiatan kepada-Nya dilakukan.” [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Shahihul Jaami’: 1886]

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

إذا اشتد الحر، وعظمت المشقة، تأكد الفطر، وكره الصوم للمسافر

“Apabila sangat panas dan berat bebannya maka dimakruhkan bagi musafir untuk berpuasa.” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]

Ketiga: Apabila musafir berpuasa tidak membahayakannya dan tidak pula memberatkannya, atau kondisinya sama saja, baik berbuka atau berpuasa tidak ada bedanya, maka boleh baginya untuk berpuasa dan boleh berbuka, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِر

“Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang puasa ketika safar? Beliau bersabda: Kalau kamu mau berpuasa silakan dan kalau kamu mau berbuka juga silakan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Juga hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau berkata,

كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

“Kami pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak puasa, dan orang yang tidak puasa tidak mencela orang yang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

ومن صام فلا حرج عليه إذا لم يشق عليه الصوم، فإن شق عليه الصوم كره له ذلك.

“Barangsiapa berpuasa maka tidak ada dosa atasnya apabila puasa tidak menyulitkannya, namun apabila memberatkannya maka dimakruhkan baginya berpuasa.” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]

III. Bagi Musafir yang Boleh Berbuka dan Boleh Berpuasa Manakah yang Lebih Afdhal?

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah menguatkan bahwa yang afdhal baginya adalah berpuasa karena empat alasan:[1]

Pertama: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berpuasa ketika safar. Sahabat yang Mulia Abu Ad-Darda’ radhiyallahu’anhu berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَابْنِ رَوَاحَةَ

“Kami keluar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebagian safar beliau di hari yang sangat panas, sampai seorang laki-laki meletakkan tangannya di atas kepala karena sangat panasnya, dan tidak ada seorang pun diantara kami yang berpuasa selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rowahah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Kedua: Berpuasa lebih cepat membebaskan diri dari kewajiban.

Ketiga: Berpuasa lebih mudah ketika dilakukan bersama-sama kebanyakan kaum muslimin daripada melakukannya sendiri.

Keempat: Berpuasa di bulan Ramadhan lebih afdhal.

IV. Jarak Safar yang Membolehkan Buka Puasa:

Jarak safar yang membolehkan seseorang berbuka puasa adalah jarak safar yang membolehkannya mengqoshor sholat, yaitu meringkas sholat yang tadinya empat raka’at menjadi dua raka’at. Berapa jarak minimalnya?

Pendapat Pertama: Mayoritas ulama berpendapat jarak minimalnya adalah kurang lebih 80 KM. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahiamahullah dan Al-Lajnah Ad-Daimah.[2]

Pendapat Kedua: Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak safar dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf) manusia. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[3] dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah.[4]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil yang shahih lagi sharih (tegas) yang menentukan jarak safar, maka dikembalikan kepada kebiasaan manusia.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

كُلُّ اسْمٍ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ فَالْمَرْجِعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ فَمَا كَانَ سَفَرًا فِي عُرْفِ النَّاسِ فَهُوَ السَّفَرُ الَّذِي عَلَّقَ بِهِ الشَّارِعُ الْحُكْمَ

“Setiap nama yang tidak memiliki batasan dalam bahasa dan tidak pula dalam syari’at, maka rujukan untuk menentukannya dikembalikan kepada kebiasaan, maka apa yang dianggap safar menurut kebiasaan manusia, itulah safar yang dikaitkan dengan hukum oleh Penetap syari’at.” [Majmu’ Fatawa, 24/40-41]

Bagaimana apabila seseorang sulit memastikan kebiasaan manusia dalam penentuan satu jarak safar karena perbedaan kebiasaan mereka?

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

ولا حرج عند اختلاف العرف فيه أن يأخذ الإنسان بالقول بالتحديد؛ لأنه قال به بعض الأئمة والعلماء المجتهدين, فليس عليهم به بأس إن شاء الله تعالى, أما مادام الأمر منضبطاً فالرجوع إلى العرف هو الصواب.

“Tidak mengapa ketika terjadi perbedaan kebiasaan dalam jarak tertentu sehingga seseorang mengambil pendapat yang menentukan jarak safar, karena itu adalah pendapat sebagian imam dan ulama mujtahid, maka tidak mengapa insya Allah, namun apabila perkaranya dapat dipastikan dengan kebiasaan maka dikembalikan kepada kebiasaan itulah yang benar.” [Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 15/265 no. 1098]

V. Kapan Musafir Mulai Berbuka?

Musafir baru dibolehkan berbuka ketika ia telah berstatus sebagai musafir, misalkan seseorang berniat di malam hari untuk safar di siang hari, maka tidak boleh ia masuk waktu pagi dalam keadaan tidak berpuasa, karena ia baru meniatkan safar, belum melakukan safar.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,

وَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ فِي الْمُسَافِرِ فِي رَمَضَانَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُبَيِّتَ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْمُسَافِرَ لَا يَكُونُ مُسَافِرًا بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا يَكُونُ مُسَافِرًا بِالْعَمَلِ وَالنُّهُوضِ فِي سَفَرِهِ

“Para Fuqoha sepakat dalam permasalahan musafir di bulan Ramadhan bahwa ia tidak boleh bermalam dalam keadaan berniat untuk tidak berpuasa, karena musafir tidak menjadi musafir dengan sekedar berniat safar, tetapi dengan perbuatan dan mulai melakukan safarnya.” [At-Tamhid, 22/49]

VI. Di Mana Musafir Dibolehkan Berbuka?

Pendapat Pertama: Apabila sudah meninggalkan perumahan kampungnya. Ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah.[5]

Pendapat Kedua: Apabila sudah siap melakukan safar walau masih berada di kampungnya. Ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.[6]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya dari Al-Imam Muhammad bin Ka’ab rahimahullah, beliau berkata,

أَتَيْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا، وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ، وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ، فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ، فَقُلْتُ لَهُ: سُنَّةٌ؟ قَالَ: سُنَّةٌ ثُمَّ رَكِبَ.

“Aku mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan dan beliau ingin melakukan safar, kendaraannya pun telah disiapkan dan beliau telah mengenakan pakaian safar, maka beliau meminta makanan lalu memakannya. Aku pun berkata kepadanya: Apakah ini sunnah? Beliau berkata: Ya sunnah. Kemudian beliau naik kendaraan.” [HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Tirmidzi, 1/419]

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ إِلَى هَذَا الحَدِيثِ، وَقَالُوا: لِلْمُسَافِرِ أَنْ يُفْطِرَ فِي بَيْتِهِ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقْصُرَ الصَّلاَةَ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ جِدَارِ الْمَدِينَةِ أَوِ القَرْيَةِ، وَهُوَ قَوْلُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الحَنْظَلِيِّ.

“Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini, mereka berkata: Boleh bagi musafir untuk berbuka di rumahnya sebelum keluar, tetapi tidak boleh baginya mengqoshor sholat sampai ia keluar dari perumahan kotanya atau kampungnya, ini adalah pendapat Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali.” [Sunan At-Tirmidzi, 2/155]

VII. Apabila Musafir Singgah di Suatu Negeri, Masih Bolehkah Baginya untuk Tidak Puasa?

Pendapat Pertama: Hanya dibolehkan bagi musafir yang tinggal sementara di suatu negeri dalam waktu kurang dari empat hari, apabila lewat empat hari maka wajib baginya puasa dan tidak boleh lagi mengqoshor sholat. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.[7]

Pendapat Kedua: Selama apa pun boleh baginya berbuka selama ia tidak berniat mukim. Pendapat ini yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.[8]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua, karena tidak ada dalil shahih dan sharih yang menunjukkan penentuan batas waktu bagi musafir yang singgah di satu negeri, maka selama ia tidak menetap statusnya masih musafir, berlaku baginya hukum-hukum musafir terkait sholat dan puasa, dan terdapat banyak riwayat para sahabat dan tabi’in yang tinggal sementara di satu negeri selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam keadaan mengqoshor sholat, karena mereka tidak berniat untuk menetap atau bermukim.

VIII. Apakah Orang yang Melakukan Safar dengan Pesawat Masih Boleh Berbuka?

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

ولا حرج فيه سواء كانت وسائل النقل مريحة أو شاقة لإطلاق الأدلة

“Tidak apa-apa bagi musafir untuk berbuka, sama saja apakah sarana transportasinya nyaman atau tidak nyaman, berdasarkan keumuman dalil-dalil (tidak memberikan pengecualian terhadap jenis transportasi tertentu).” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/236]

IX. Apabila Musafir Kembali Pulang di Siang Hari dalam Keadaan Tidak Berpuasa, Bolehkah Baginya Makan, Minum dan Berhubungan Suami Istri?

Tidak sah baginya berpuasa apabila telah masuk waktu pagi dalam keadaan berbuka atau tadinya berpuasa kemudian telah berbuka karena safar. Tetapi bolehkah ia makan, minum dan berhubungan suami istri apabila telah sampai ke rumahnya?

Pendapat Pertama: Tidak boleh karena statusnya bukan lagi musafir. Pendapat ini dikuatkan Al-Lajnah Ad-Daimah.[9]

Pendapat Kedua: Boleh karena ia berbuka dengan sebab yang dibolehkan syari’at. Pendapat ini dikuatkan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah.[10]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil shahih lagi sharih yang mengharuskannya untuk menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri dalam keadaan ia tidak berpuasa, dan terdapat beberapa riwayat dari Salaf yang menguatkan pendapat ini.

Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,

من أفطر أول النهار فليفطر آخره

“Barangsiapa dibolehkan berbuka di awal hari maka boleh baginya berbuka di akhirnya.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/54]

Al-Imam Malik dan Asy-Syafi’i rahimahumallah berkata,

وَلَوْ قَدِمَ مُسَافِرٌ فِي هَذِهِ الْحَالِ فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَدْ طَهُرَتْ جَازَ لَهُ وَطْؤُهَا

“Andai seorang musafir kembali dalam keadaan seperti ini, lalu ia mendapati istrinya baru bersih dari haid (dan tidak berpuasa karena haid), maka boleh baginya untuk menggauli istrinya tersebut.” [At-Tamhid, 22/53]

Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Ubaid, dari Jabir bin Zaid rahimahumullah,

أَنَّهُ قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَوَجَدَ الْمَرْأَةَ قَدِ اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا فَجَامَعَهَا

“Bahwa beliau ketika pulang dari safar di bulan Ramadhan, mendapati istrinya baru mandi besar dari haidnya, maka beliau menggaulinya.” [At-Tamhid, 22/53]

Peringatan: Suami istri yang melakukan safar bersama di bulan Ramadhan boleh berhubungan suami istri karena tidak wajib bagi mereka berpuasa, akan tetapi bila mereka melakukan safar hanya untuk mendapatkan keringanan berhubungan suami istri maka dosa mereka lebih besar, karena mereka telah membatalkan puasa dengan berjima’ dan melakukan tipu daya dalam syari’at, dan wajib atas mereka untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan membayar kaffaroh, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

➡X. Apa Kewajiban Musafir yang Tidak Berpuasa?

Kewajibannya hanyalah mengqodho’ sejumlah hari yang ia tidak berpuasa padanya di bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]

Termasuk orang-orang yang bekerja dalam keadaan safar seperti supir, pilot dan yang semisalnya, maka boleh bagi mereka untuk berbuka dan mengqoshor sholat, dan kewajiban mereka hanyalah mengqodho puasa setelah bulan Ramadhan (selain di hari-hari yang terlarang berpuasa, yaitu dua hari raya dan hari-hari Tasyriq).[11]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

-------------------

[1] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/330 dan 6/343.

[2] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 10/203, no. 7652.

[3] Lihat Majmu’ Fatawa, 24/38-44.

[4] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 15/265 no. 1098.

[5] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/346.

[6] Lihat risalah beliau yang berjudul “Tashih Hadits Ifthoris Shooim Qobla Safarihi wa Ba’dal Fajri.”

[7] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 12/276.

[8] Lihat Majmu’ Fatawa, 24/18.

[9] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/210 no. 1954.

[10] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409.

[11] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/212.

Sumber: http://sofyanruray.info/hukum-hukum-puasa-bagi-musafir/

copaste by www.AinuRofik.com

Hukum Mengucapkan MINAL 'AAIDIN WALFAAIZIN

oleh: Ust.Firanda Andirja MA

Pertanyaan:
Ustadz apa hukum mengucapkan "Minal 'Aaidin wal Faaizin" tatkala hari raya?

Jawaban :
Tahni'ah (ucapan selamat) untuk hari raya idul fitri asalnya merupakan perkara adat istiadat, maka boleh berekspresi dan berinovasi dalam menghaturkan ucapan tersebut selama tidak mengandung makna yang buruk. Dan lebih disukai jika dengan menggunakan lafal-lafal yang mengandung do'a.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
"Apakah hukum mengucapkan selamat hari raya?,
apakah ada lafal khusus?"
Beliau menjawab :
"Mengucapkan selamat hari raya adalah boleh, dan tidak ada ucapan dengan lafal tertentu, bahkan ucapan yang merupakan kebiasaan/tradisi masyarakat adalah boleh selama tidak mengandung (makna) dosa" (Majmuu' Fataawaa Syaikh Al-'Utsaimin 16/129)
Beliau juga berkata :
"Mengucapkan selamat hari raya dilakukan oleh sebagian sahabat radhiyallahu 'anhum. Seandainyapun tidak dilakukan oleh para sahabat maka hal itu sekarang sudah merupakan perkara tradisi masyarakat, mereka saling memberi ucapan selamat dengan tibanya hari raya dan sempurnanya puasa dan sholat malam" (Majmuu' Fataawaa Syaikh Al-'Utsaimin 16/128)

Beliau juga ditanya :
"Apa hukum berjabat tangan dan berpelukan dan mengucapkan selamat setelah sholat 'ied?"
Beliau menjawab :
"Seluruh perkara ini tidaklah mengapa, karena masyarakat melakukannya bukan sebagai ibadah dan taqorrub kepada Allah Azza wa Jalla, akan tetapi mereka melakukannya sebagai tradisi/adat, sebagai bentuk memuliakan dan penghormatan. Dan selama hal ini merupakan tradisi dan syari'at tidak melarangnya maka hukum asal dalam perkara adat/tradisi adalah boleh" (Majmuu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin 16/209)

Kesimpulan :
Pertama :
Pengucapan selamat idul fitri merupakan perkara adat dan tradisi, maka apa yang biasa diucapkan oleh masyarakat boleh untuk diucapkan selama tidak mengandung makna yang buruk atau dosa. Dan disukai jika ucapan tersebut mengandung doa yang baik, sebagaimana telah diriwayatkan dengan sanad yang hasan bahwa para sahabat jika bertemu tatkala hari raya maka mereka saling berkata : Taqobballallahu minnaa wa minkum
(Semoga Allah menerima ibadah kami dan kalian)

Kedua  :
Boleh mengucapkan lafal-lafal ucapan yang merupakan kebiasan masyarakat setempat selama tidak mengandung makna yang buruk atau dosa.
Diantara lafal-lafal ucapan selamat tersebut :-  Selamat Hari Lebaran/Idul Fitri tahun 2014 atau 1435 H- Minal 'Aaidiin wal Faaiziin, yang artinya ; "Selamat berhari 'ied dan semoga termasuk orang-orang yang telah menang (mendapatkan pahala)"
Ucapan ini pada dasarnya adalah do'a, dan juga sering diucapkan oleh orang-orang Arab, sebagaimana saya sering mendengarnya langsung.
Karenanya tidak perlu kita mempermasalahkan ucapan seperti ini dengan berandai-andai atau memaknainya dengan makna yang buruk. Karenanya tidak perlu kita mempersulit masyarakat dengan melarang mereka mengucapkan ucapan ini.- Mohon Maaf Lahir Batin
Ini adalah ucapan yang sering terucapkan tatkala hari raya. Tentunya maksud dari ucapan tersebut adalah maafkanlah aku jika aku punya salah, maafkanlah aku secara total, karena aku meminta maaf kepadamu secara total keseluruhan lahir dan batin.Meminta maaf merupakan perkara yang sangat terpuji jika seseorang memang benar-benar melakukan kesalahan, terlebih lagi jika ia segera meminta maaf dan tidak menunda-nundanya.

Akan tetapi ucapan ini sudah menjadi tradisi masyarakat kita dan diucapkan kepada siapa saja yang ia temui apakah ia bersalah kepada orang tersebut atau tidak. Bahkan diucapkan kepada orang yang baru saja ia temui dan belum ia kenal sebelumnya, yang bisa dipastikan bahwa ia tidak memiliki kesalahan terhadap orang tersebut.

Sehingga ucapan ini sudah menjadi paket bergandengan dengan "Minal 'Aidin wal Faizin".
Pada asalnya seseorang boleh-boleh saja meminta maaf tatkala hari raya, atau menjadikan hari raya adalah momen yang tepat untuk bersilaturahmi disertai meminta maaf. Akan tetapi hendaknya jangan sampai tradisi ini menjadikan seseorang menunda untuk meminta maaf hingga tiba hari raya.
Wallahu A'lam 

Ketiga :
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan ucapan selamat hari raya, sehari atau dua hari sebelum hari raya. Karena permasalahan mengucapkan selamat adalah perkara adat dan tradisi, maka hukum asalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarang.

Wallahu  A'lam.
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja www.firanda.com
berilmu sebelum berkata dan beramal
MENEBAR DAKWAH
Baarakallahu fiykum
copaste by www.AinuRofik.com