Selasa, 28 April 2015

Taubat dari Syirik

Orang yang berbuat syirik, saudara sekalian dan dia meninggal dunia tanpa bertaubat kepada Allāh, maka dosa syirik tersebut tidak akan diampuni. Namun apabila dia bertaubat sebelum dia meninggal, maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan mengampuni dosanya, bagaimanapun besarnya dosa tersebut.

Taubat nasuha adalah taubat yang terpenuhi didalamnya 3 syarat:
Menyesal
Meninggalkan perbuatan tersebut
Bertekat kuat untuk tidak mengulangi lagi

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ الله إِنَّ الله يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang telah malampaui batas terhadap diri sendiri (yaitu dengan berbuat dosa), janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allāh. Sesungguhnya Allāh mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS (AzZumar ayat 53)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ الله يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

Sesungguhnya Allāh menerima taubat seorang hamba selama ruh belum sampai ke tenggorokan. (Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan juga Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah).

Para sahabat nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak semuanya lahir dalam keadaan Islam, bahkan banyak diantara mereka yang masuk Islam ketika sudah besar. Dan sebelumnya bergelimang dengan kesyirikan. Supaya tidak terjerumus kembali ke dalam kesyirikan, maka seseorang harus mempelajari tauhid dan memahaminya dengan baik, mengetahui jenis-jenis kesyirikan, sehingga dia bisa menjauhi kesyirikan tersebut.
copaste by www.AinuRofik.com

Senin, 20 April 2015

Bulan Rajab Anjurannya Lebih Memperbanyak Puasa, Walau Tidak Ada Puasa Khususnya

Tidak terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab. Baik bentuknya shalat, puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang menyebutkan amalan bulan Rajab adalah hadis bathil dan tertolak.

Ibnu Hajar mengatakan,

لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ

“Tidak terdapat riwayat yang shahih, bisa untuk dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab atau shalat tahajjud di malam tertentu. Keterangan saya ini telah didahului oleh ketengan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al Harawi.” (Tabyinul Ujub bimaa Warada fii Fadli Rajab, Hal. 6)

Imam Ibn Rajab mengatakan,

أما الصلاة فلم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء

“Tidak terdapat dalil yang shahih, yang menyebutkan adanya anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, bathil, dan tidak shahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 213)

Terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan, tidak ada satu pun hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan,

في الجنة قصر لصوام رجب

“Di surga terdapat istana untuk orang yang rajinberpuasa di bulan Rajab.”

Namun riwayat bukan hadis. Imam Al Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah:

أبو قلابة من كبار التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ

“Abu Qilabah termasuk tabi’in senior, beliau tidak menyampaikan riwayat itu kecuali karena kabar tanpa sanad.” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 213)

Pertama, Puasa sunah bulan haram
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa dibulan Rajab dengan niat puasa sunah di bulan-bulan haram, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadis yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenasihatkan, “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فمن الحرم و أفطر

“Puasalah di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).” (Hadis ini dishahihkan sebagaian ulama dan didhaifkan ulama lainnya). Namun diriwayatkan bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram. Dinataranya: Ibn Umar, Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Subai’i.

Kedua, Mengkhususkan Umrah di bulan Rajab
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari Aisyah.

يغفر الله لأبي عبد الرحمن، لعمري، ما اعتمر في رجب

“Semoga Allah mengampuni Abu Abdirrahmah (Ibnu Umar). Sepanjang usiaku, beliau belum pernah Umrah di bulan Rajab.”
Ibnu Umar mendengar hal ini dan beliau diam saja. (HR. Muslim, 1255)

Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah bulan Rajab. Aisyah dan Ibnu Umar juga melaksanakan umrah bulan Rajab.

Ibnu Sirin menyatakan, bahwa para sahabat melakukan hal itu. Karena rangkaian haji dan umrah yang paling bagus adalah melaksanakan haji dalam satu perjalanan sendiri dan melaksanakan umrah dalam satu perjalanan yang lain, selain di bulan haji. (Al Bida’ Al Hauliyah, Hal. 119).

Dari penjelasan Ibnu Rajab menunjukkan bahwa melakukan umrah di bulan Rajab hukumnya dianjurkan. Beliau berdalil dengan anjuran Umar bin Khatab untuk melakukan umrah di bulan Rajab. Dan dipraktikkan oleh Aisyah dan Ibnu Umar.

Diriwayatkan Al Baihaqi, dari Sa’id bin Al Musayib, bahwa Aisyah radliallahu ‘anha melakukan umrah di akhir bulan Dzulhijjah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan)

Namun ada sebagian ulama yang menganggap umrah di bulan Rajab tidak dianjurkan. Karena tidak ada dalil khusus terkait umrah bulan Rajab. Ibnu Atthar mengatakan, “Di antara berita yang sampai kepadaku dari penduduk Mekah, banyaknya kunjungan di bulan Rajab. Kejadian ini termasuk masalah yang belum kami ketahui dalilnya. Bahkan terdapat hadis yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Umrah di bulan Ramadhan nilainya seperti haji’.” (HR. Al Bukhari)

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengatakan, bahwa para ulama mengingkari sikap mengkhususkan bulan Rajab untuk memperbanyak melaksanakan umrah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6:131)

Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.

Andaikan ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamakan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau memberi tahu umatnya akan keutamaan umrah di bulan Ramadlan. Sedangkan riwayat dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya dipermasalahkan.

Ketiga, Menyembelih hewan (Atirah)
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajabuntuk tujuan beribadah.

Ulama berselisih pendapat tentang hukum Atirah.

Pendapat pertama, athirah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentangAthirah, kemudian beliau menjawab:

الْعَتِيرَةُ حَقٌّ

“Athirah itu hak.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan As Suyuthi dalam Jami’us Shaghir)

Pendapat kedua, Atirah tidak disyariatkan, namun tidak makruh. Dalilnya, hadis dari Abu Razin, Laqirh bin Amir Al Uqaili, beliau bertanya kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami menyembelih hewan di bulan Rajab di zaman Jahilliyah. Kami memakannya dan memberi makan tamu yang datang.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak masalah.” (HR. An Nasa’i, Ad Darimi, dan Ibn Hibban)

Pendapat ketiga, Atirah hukumnya makruh. Berdasarkan hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada Fara’a dan tidak ada Atirah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Fara’a adalah anak pertama binatang, yang disembelih untuk berhala.

Pendapat keempat, Atirah hukumnya haram. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnul Qoyim dan Ibnul Mundzir. Ibnul Qoyim mengatakan, “Dulu masyarakat Arab melakukan Atirah di masa jahiliyah, kemudian mereka tetap melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammendukungnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, melalui sabdanya, “Tidak ada fara’a dan tidak ada Atirah.” akhirnya para sahabat meninggalkannya, karena adanya larangan beliau. Dan telah dipahami bersama, bahwa larangan itu hanya akan muncul, jika sebelumnya ada yang melakukannya. Sementara tidak kita jumpai adanya satupun ulama yang mengatakan, Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangAtirah kemudian beliau membolehkannya kembali…” (Tahdzib Sunan Abu Daud, 4:92 – 93). Insya Allah, pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.
copaste by www.AinuRofik.com

Adakah Puasa Khusus di Bulan Rajab?

♨ Adakah Puasa Khusus di Bulan Rajab..❓❓

▶ Pertanyaan:

Akhir-akhir ini, banyak orang yang berpuasa di awal bulan Rajab. Saya ingin bertanya, apakah ada tuntunannya dari Rasulullah puasa hanya di awal bulan Rajab atau hanya beberapa hari saja di bulan Rajab?

➡ Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Tidak terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab, baik bentuknya shalat, puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang menyebutkan amalan di bulan Rajab adalah hadis dhaif dan tertolak.

Ibnu Hajar mengatakan,

لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ

“Tidak terdapat riwayat yang sahih yang layak dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula riwayat yang shahih tentang puasa rajab, atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab, atau shalat tahajud di malam tertentu bulan rajab. Keterangan saya ini telah didahului oleh keterangan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al-Harawi.” (Tabyinul Ujub bi Ma Warada fi Fadli Rajab, hlm. 6)

Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Rajab. Dalam karyanya yang mengupas tentang amalan sepanjang tahun, yang berjudul Lathaiful Ma’arif,  beliau menegaskan tidak ada shalat sunah khusus untuk bulan rajab,

لم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء

“Tidak terdapat dalil yang sahih tentang anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, batil, dan tidak sahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah, menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)

.....................

Selengkapnya silahkan klik di link berikut: http://goo.gl/794heB

Demikian, wabillahi at-taufiiq
copaste by www.AinuRofik.com

Sabtu, 18 April 2015

Hukum Menyentuh dan Memelihara Anjing

Hukum Menyentuh dan Memelihara Anjing

Para ulama madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) sepakat bahwa air liur anjing najis kecuali Maliki yang berpendapat anjing tidak najis sama ada air liur atau bulunya. Bagi kaum muslimin di Indonesia, Malaysia, Singapura, Yaman dan lainnya kebanyakan mengikuti madzhab Syafi’iyyah yang menghukumi najis seluruh bagian tubuh anjing jika disentuhnya dalam keadaan basah.

Asy-Syarbini mengatakan :

(وما نجس ) من جامد ولو بعضا من صيد أو غيره ( بملاقاة شيء من كلب ) سواء في ذلك لعابه وبوله وسائر رطوباته وأجزائه الجافة إذا لاقت رطبا ( غسل سبعا إحداهن ) في غير أرض ترابية ( بتراب )
“– Dan apa yang najis – dari sesuatu yang padat walaupun sebagiannya dari buruan atau lainnya – karena besentuhan dengan bagian anjing – sama ada itu air liurnya atau kencingnya dan semua bagiannya yang basah dan anggota tubuhnya yang yang kering jika menyentuh sesuatu yang basah – maka mensucikannya tujuh kali saah satunya dengan tanah. “[1]

Artinya jika menyentuh anjing salah satunya (anjing atau yang menyentuh) sama ada tubuh, pakaian atau tempat dalam keadaan basah, maka menjadi najis dan mensucikannnya tujuh kali cucian salah satunya dicampur dengan tanah. Mafhumnya jika keduanya tidak basah, maka tidaklah najis.

Imam an-Nawawi berkata :

مذهبنا أن الكلاب كلها نجسة، المُعَلَّم وغيره، الصغير والكبير، وبه قال الأوزاعي وأبو حنيفة وأحمد وإسحاق وأبو ثور وأبو عبيد
“Madzhab kami, mengatakan bahwa anjing seluruh bagiannya adalah najis, sama aja anjing terlatih atau bukan, kecil ataupun besar. Pendapat ini juga dikatakan oleh al-Awza’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur dan Abu Ubaid “.[2]

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari mengatakan :

والكلب ولو معلما لخبر الصحيحين «إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات» ولخبر مسلم «طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب»وجه الدلالة أن الماء لو لم يكن نجسا لما أمر بإراقته لما فيها من إتلاف المال المنهي عن إضاعته وأن الطهارة إما عن حدث أو نجس ولا حدث على الإناء فتعينت طهارة النجس فثبت نجاسة فمه وهو أطيب أجزائه بل هو أطيب الحيوان نكهة لكثرة ما يلهث فبقيتها أولى
“…(najis juga) anjing walaupun terlatih karena ada dua hadits sahih, “ Jika anjing menjilat bejana salah seorang kalian, maka tumpahkanlah dan cuicilah tujuh kali “, dan juga hadits Muslim : ““Sucinya bejana di antara kalian yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” Sisi pendalilannya adalah sesungguhnya air itu tidak menjadi najis, maka niscaya tidak akan diperintahkan menumpahkannya karena termasuk membuang harta yang terlarang untuk dihilangkan. Dan sesungguhnya bersuci itu adakalanya karena sebab hadats atau najis, sedangkan tidak ada istilah hadats pada bejana, maka menjadi nyata bahwa itu adalah membersihkan dari najis. Maka nyatalah kenajisan mulut anjing tersebut, dan mulut adalah anggota tubuh yang paling bagus bahkan ia paling bagusnya bau mulut hewan karena seringnya menjulurkan lidahnya, maka anggota tubuh lainnya lebih utama (untuk dihukumi najis) “.[3]

Dari teks di atas diketahui sisi pendalilan atas kenajisan seluruh bagian tubuh anjing yaitu :
Dari hadits sahih di atas, dapat dipahami bahwa jika air itu tidak najis maka tidak akan diperintahkan untuk ditumpahkan, karena air termasuk harta yang dilarang untuk dibuang sia-sia.
Mensucikan sesuatu adakalanya karena najis atau hadats, sedangkan bejana tidak mungkin ada hadatsnya, maka perintah mensucikan bejana tersebut tidak ada lain karena adanya najis.
Mulut adalah anggota tubuh yang paling bagus, jika mulut bagian tubuh yang paling bagus pada anjing dinilai najis, maka bagian tubuh lainnya lebih patut dinilai najis.
Imam an-Nawawi mengatakan :

قال البيهقي: أجمع المسلمون على نجاسة بول الكلب” وكذلك بول وغائط جميع الحيوانات مما لا يؤكل لحمه
“Imam al-Baihaqi mengatakan, “ Para ulama sepakat (ijma’) atas najisnya kencing anjing “, demikian juga kencing dan kotoran semua hewan yang haram dimakan dagingnya “.[4]

Adapun hadits :

كَانَتِ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Konon anjing-anjing di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kencing dan berlalu di masjid, para sahabat tidak ada yang memercikkan sedikitpun dari itu semua “.

Maka jawabannya adalah : Najis anjing sudah ijma’ para ulama. Sedangkan kasus di atas adalah begini; asal bumi ini adalah suci, maka kapan saja kita tidak mengetahui, apakah bumi masjid itu terkena najis anjing atau tidak, maka kita hukumi dengan yakin yaitu tidak adanya wujud najis tersebut, bumi telah Allah jadikan sebagai masjid (layak untuk tempat sujud). Dan kita tidak dibebankan untuk meneliti bekas-bekas anjing di dalamnya.

Dalam hadits sahih Muslim pun disebutkan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم أَصْبَحَ يَوْمًا وَاجِمًا، فَقَالَتْ مَيْمُونَةُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدِ اسْتَنْكَرْتُ هَيْئَتَكَ مُنْذُ الْيَوْمِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : ” إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ وَعَدَنِي أَنْ يَلْقَانِي اللَّيْلَةَ فَلَمْ يَلْقَنِي أَمَ وَاللَّهِ مَا أَخْلَفَنِي “، قَالَ : فَظَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَوْمَهُ ذَلِكَ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ فُسْطَاطٍ لَنَا، فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهِ مَاءً، فَنَضَحَ مَكَانَهُ فَلَمَّا أَمْسَى لَقِيَهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ لَهُ قَدْ كُنْتَ وَعَدْتَنِي أَنْ تَلْقَانِي الْبَارِحَةَ قَالَ أَجَلْ وَلَكِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ فَأَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ فَأَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ حَتَّى إِنَّهُ يَأْمُرُ بِقَتْلِ كَلْبِ الْحَائِطِ الصَّغِيرِ وَيَتْرُكُ كَلْبَ الْحَائِطِ الْكَبِيرِ
“Sesungguhnya pada suatu pagi Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam kelihatan diam karena susah dan sedih. Maimunah berkata; “Ya, Rasululloh! Aku heran melihat sikap Anda sehari ini. Apa yang telah terjadi?” Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Jibril berjanji akan datang menemuiku malam tadi, ternyata dia tidak datang. Ketahuilah, dia pasti tidak menyalahi janji denganku! ‘ Demikianlah Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam senantiasa kelihatan susah dan sedih sehari itu. Kemudian beliau melihat seekor anak anjing di bawah tempat tidur kami, lalu beliau menyuruh keluarkan anak anjing itu. Kemudian diambilnya air lalu dipercikinya (bekas-bekas) tempat anjing itu. Ketika hari sudah petang, Jibril datang menemui beliau. Kata beliau kepada Jibril: ‘Anda berjanji akan datang pagi-pagi.’ Jibril menjawab; ‘Benar! Tetapi kami tidak dapat masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar.’ Pada pagi harinya Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya membunuh semua anjing, sampai anjing penjaga kebun yang sempit, tetapi beliau membiarkan anjing penjaga kebun yang luas.’ (HR. Muslim)

Dari hadits di atas, diketahui bahwa seandainya anjing tidak najis, maka Nabi tidak akan memercikkan bekas-bekas tempat anjing tersebut dengan air.

Dengan ini bagi kami yang paling rajih adalah pendapat yang menghukumi kenajisan seluruh bagian anjing jika disentuhnya dalam keadaan basah salah satunya. Maka tidak sepatutnya memaksa kami mengikuti pendapat sebalilknya, apatah lagi kaum muslimin Malaysia, Indonesia dan lainnya mayoritas mengikuti pendapat Syafi’iyyah, sepatutnya mereka menghormati pendapat ini yang sudah dipegang selama puluhan tahun secara turun menurun. Apakah pengikut Syafi’iyyah atau Hanbaliyyah boleh memaksakan penduduk Libia yang mayoritas bermadzhab Maliki untuk mengikuti pendapatnya saat berada di Libia ? tentu akan terjadi konflik bila hal ini terjadi.

Kalau pun masing-masing pendapat masih samar mana yang rajih, maka yang patut dipegang dan diambil adalah pendapat yang lebih mendekati kehati-hatian dalam Agama. Karena melaksakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Tinggalkan apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu “. (HR. At-Turmudzi)

HUKUM MENYENTUH ANJING TANPA ADA KEPERLUAN

Lalu bagaimana hukumnya jika menyentuh anjing tanpa adanya hajat atau keperluan ?

Jika kita yakin tangan kita atau anjing itu tidak basah alias kering, maka hukumnya tidak najis dan boleh namun makruh. Namun jika tangan kita basah dan sengaja menyentuh anjing, maka jelas hukumnya najis dan haram karena ada unsur kesengajaan menyentuh najis. Imam al-Malibari mengatakan :

(ولا يجب اجتناب النجس) في غير الصلاة ومحله في غير التضمخ به في بدن أو ثوب فهو حرام بلا حاجة
“– Dan tidak wajib menjauhi Najis – di selain sholat dan tempatnya, kecuali di selain melumurkan najis pada badan atau pakaian, maka perbuatan itu adalah haram “.[5]
Imam An-Nawawi al-Bantani mengatakan :

والمقصد الرابع  من مقاصد الطهارة إزالة النجاسة وإزالتها واجبة إلا في النجاسة المعفو عنها وهي على الفور إن عصى بها كأن تضمخ بها لغير حاجة
“Tujuan yang keempat dari tujuan-tujuan bersuci adalah menghilangkan najis. Menghilangkan najis hukumnya wajib kecuali pada najis yang dimaafkan, dan mensucikan najis itu dilakukan dengan segera jika terkena najis dengan berdosa seperti melumurkan dengan najis tanpa adanya hajat “.[6]

HUKUM MEMELIHARA ANJING

Memelihara anjing hukumnya haram kecuali jika ada tujuan-tujuan yang dibenarkan Syare’at seperti menjaga tanaman, ternak atau buruan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنِ اقْتَنَى كَلبًا إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمِ قِيْرَاطُ
"Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth (satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).” [HR. Muslim no. 2941].

Imam an-Nawawi mengatakan :

رخص النبي صلى الله عليه وسلم في كلب الصيد وكلب الغنم، وفي الرواية الأخرى وكلب الزرع ونهى عن اقتناء غيرها، وقد اتفق أصحابنا وغيرهم على أنه يحرم اقتناء الكلب لغير حاجة، مثل أن يقتني كلباً إعجاباً بصورته أو للمفاخرة به، فهذا حرام بلا خلاف
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringangan pada anjing buruan dan anjing penjaga ternak, dalam riwayat yang lain, anjing penjaga tanaman dan melarang memelihara anjing dari selain tujuan itu. Para sahabat kami dan lainnya telah sepakat bahwa haram memelihara anjing tanpa ada hajat (keperluan) seperti memelihara anjing karena kagum dengan bentuknya atau karena untuk bangga-banggaan, maka ini semua haram tanpa khilaf “.[7]

Al-Hafidz Ibnu Hajar menaqal pendapat Ibnu Abdil Barr yang menghukumi makruh menjadikan anjing untuk selain kepentingan seperti dalam hadits, namun sebenarnya itu diqiyaskan pada makna buruan dan sesuatu yang dapat menarik manfaat dan mencegah bahaya, kemudian Ibnu Abdil Barr melanjutkan :

وفي قوله : نقص من عمله – أي من أجر عمله – ما يشير إلى أن اتخاذها ليس بمحرم ، لأن ما كان اتخاذه محرما امتنع اتخاذه على كل حال سواء نقص الأجر أو لم ينقص ، فدل ذلك على أن اتخاذها مكروه لا حرام
“Dan ucapan ; “ Berkurang dari amalnya “ maksudnya dari pahala amalnya “, ini mengisyaratkan bahwa menjadikannya (binatang peliharaan) tidaklah haram, karena setiap yang menjadikannya dihkumi haram, maka dilarang juga menjadikannya dalam keadaan apapun, sama ada pahalanya berkurang ataupun tidak. Maka hal itu menunjukkan bahwa menjadikannyanya hukumnya adalah makruh bukan haram “.[8]

Akan tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar membantahnya :

وما ادَّعاه من عدم التحريم واستند له بما ذكره ليس بلازمٍ ، بل يحتمل أنْ تكون العقوبة تقع بعدم التوفيق للعمل بمقدار قيراط مما كان يعمله من الخير لو لم يتخذ الكلب. ويحتمل أن يكون الاتخاذ حراماً، والمراد بالنقص أن الإثم الحاصل باتخاذه يوازي قدر قيراط أو قيراطين من أجر فينقص من ثواب المتَّخذ قدر ما يترتب عليه من الإثم باتخاذه وهو قيراط أو قيراطان
“Apa yang diklaim Ibnul Abdil Barr dari tidak haramnya hal itu dan bersandar dengan apa yang telah ia sebutkan tadi, tidaklah lazim. Bahkan berkemungkinan hukuman (kurang satu atau dua qirath) terjadi dengan tidak mendapat taufiq untuk beramal pada kadar satu qirath daripada amalam-amalan baiknya walau tidak memelihara anjing sekalipun. Dan berkemungkinan memelihara anjing itu adalah haram, dan apa yang dikehendaki dengan pengurangan ialah dosa yg terhasil dengan memelihara anjing adalah bersamaan kadar satu atau dua qirath daripada pahala, maka pahala pemelihara anjing berkurang pada kadar apa yang ditetapkan ke atasnya daripada dosa kerana memeliharanya iaitu satu atau dua qirath.“.[9]

Maka kesimpulannya adalah memelihara anjing tanpa adanya hajat seperti yang disebutkan dalam hadits yaitu untuk menjaga ternak, tanaman atau untuk berburu atau untuk sesuatu yang semakna misal menjaga rumah, maka pendapat yang mu’tamad dan diikuti mayoritas ulama hukumnya adalah haram.

Sebuah penelitian kedokteran membuktikan bahwa anjing dapat menyebarkan banyak penyakit ; Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan, “ Di antara hukum Islam bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mu’jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern. Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia “.[10]

Tidak selayaknya seorang muslim mengikuti cara orang-orang kafir; berlari bersama anjing, menyentuh mulutnya atau menciumnya yang dapat menyebabkan berbagai penyakit. Bukan berarti Islam berpandangan jahat terhadap anjing, justru Islam lah agama yang paling mengerti hak-hak binatang dan paling kasih sayang terhadap binatang apapun. Namun Islam juga memberikan aturan semuanya untuk kemaslahatan umat manusia supaya sehat dunia akherat dan selamat dunia akherat.

Ibnu Abdillah al-Katibiy
Kota Santri, 22-10-2014

[1] Mughni al-Muhtaj : 1/239
[2] Al-Majmu’ : 2/585
[3] Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah : 1/135
[4] Al-Majmu’ : 2/524
[5] Fath al-Mu’in : 11
[6] Nihayah az-Zain : 44
[7] Al-Majmu’ : 2/599
[8] Fath al-Bari : 8/5, lihat juga at-Tamhid : 14/221
[9] Fath al-Bari : 8/5
[10] Taudhîhul-Ahkam, Syaikh Ali Bassâm, 1/137

Hukum Menyentuh dan Memelihara Anjing

Muslimedianews.com
copaste by www.AinuRofik.com